HUKUM
DAN NEGARA
Oleh:
JANNUS TAMBUNAN S.H.I
A.
Pendahuluan
Hukum
dan Negara adalah bagaikan sekeping mata uang yang tidak mungkin dipisahkan.
Karena setiap hukum yang dibentuk bertujuan untuk dapat mengontrol prilaku
rakyat sehingga terciptanya suatu Negara yang aman dan makmur. Dan negara tidak
akan bisa berkekalan eksistensi/ keberadaannya apabila tidak dibarengi dengan
sistem hukum yang apik dan baik.
Mencermati
hal di atas, maka diperlukan keterangan yang lebih mendalam akan kaitan hukum
dan negara, karena seperti yang dimaklumi banyak sistem hukum yang ada di dunia
ini yang bertujuan sedapat mungkin untuk bisa memberikan jaminan keamanan, dan
juga kesejahteraan bagi rakyat dan juga bagi kelangsungan suatu negara. Dan
setiap sistem yang ada tersebut mempunyai sisi kelemahan dan juga kelebihannya
masing-masing. Konsep yang diberikan oleh para negarawan di dalam meramu sistem
hukum yang diperuntukkan bagi Negara tertentu adalah bertujuan untuk mewujudkan
Negara yang berlandaskan hukum di dalam perjalanan kehidupan Negara tersebut.
Berbicara
mengenai hukum memang sangat sulit adanya, karena banyak defenisi mengenai
hukum yang berkaitan dengan kenegaraan yang diberikan oleh masing-masing pakar
di dalam bidang hukum, terkhusus mereka yang mendalami mengenai hukum
ketatanegaraan.[1] Untuk itu di dalam makalah ini pemakalah
mencoba memberikan defenisi hukum dan Negara semampunya, dan juga dengan
permasalahan yang ada kaitannya dengan kedua term di atas.
B.
Pembahasan
1.
Defenisi
Hukum Dan Negara
a.
Hukum
Hukum
adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajaib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan.[2]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh penguasa/
pemerintah, atau adat yang berlaku bagi semua orang dalam suatu masyarakat/
Negara. Hukum juga didefenisikan sebagai undang-undang, peraturan, untuk
mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat.[3]
Sedangkan
pengertian hukum dalam Kamus Oxford English Dictionary adalah: kumpulan aturan,
baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, dimana suatu
masyarakat atau Negara tertentu mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai
subyeknya, orang yang tunduk padanya atau pelakunya.[4]
Menurut
Austin, hukum adalah perintah dari yang berdaulat dan ia mendefenisikan hukum
sebagai sebuah aturan yang ditentukan untuk membimbing manusia oleh manusia
yang memiliki kekuasaan terhadapnya. Jadi, hukum harus dipisahkan dari keadilan
dan yang dulu berlandaskan pad aide baik dan buruk diganti dengan berdasarkan
pada kekuasaan dan atasan.
Defenisi
hukum dalam arti materil yaitu yang menentukan corak isi hukum atau sesuatu
yang tercermin dalam isi hukum. Defenisi hukum materil. Menentukan arti asal
hukum, menentukan ukuran, isi apakah yang harus dipenuhi agar bias disebut
hokum serta mempunyai kekuatan yang mengikat yaitu sebagai norma yang harus
ditaati sebagai hukum.[5]
Defenisi
hukum dalam arti formal, adalah sesuatu yang dapat diketahui hukum yang berlaku
sebagai hukum positif dalam suatu Negara, misalnya perundang-undangan,[6] kebiasaan,
hakim, perjanjian dan ilmu pengetahuan hukum.
Hukum
barat merupakan adopsi ataupun bersumber dari hukum romawi yang berisi
kaidah-kaidah hukum perjanjian dan merupakan hukum positif yang dibuat oleh
kekuasaan negara yang tidak mempunyai keterkaitan sama sekali dengan dogma
agama.[7] Dari
sini dapat diketahui bahwa hukum Romawi merupakan hukum buatan manusia / karya
manusia dan hal ini tentunya berbeda dengan hokum Islam. Hukum dalam kajian
barat dituangkan dalam undang-undang yang merupakan hasil dari kumpulan
pendapat para sarjana yang di tulis dalam bentuk pasal-pasal yang merupakan
produk akal manusia semata, dilengkapi dengan sanksi bagi orang-orang yang
melanggarnya.
Melihat
defenisi mengenai hukum di atas bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa hukum
adalah berupa peraturan yang dibuat oleh penguasa untuk dijadikan sebagai alat
kontrol masyarakat, dan apabila dilanggar akan mempunyai konsekuaensi tertentu
sesuai dengan berat atau tidaknya tuntutan dari hukum tersebut. Adakalanya
hukum yang dibuat dikodifikasi sehingga berbentuk sebagai konstitusi atau Undang-undang
suatu Negara. Tapi hukum di sini mempunyai banyak tingkatan, sesuai dengan
badan yang mengeluarkan produk hukum tersebut.
b.
Negara
Negara
mempunyai defenisi yakni persekutuan hukum yang letaknya dalam suatu daerah
tertentu dan mempunyai kekuasaan tertinggi guna menyelenggarakan kepentingan
umum dan kemakmuran bersama. Negara itu mempunyai unsure mutlak: 1. Ada daerah
tertentu, 2. Ada rakyatnya, 3. Ada pemerintahnya, 4. Pengakuan dari Negara lain.[8]
Sedangkan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa negara adalah organisasi
dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati
oleh rakyat. Juga berarti kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik, mempunyai kesatuan
politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.[9]
Seperti
yang telah penulis sebutkan di atas bahwa sebuah Negara memerlukan hukum untuk
menata negaranya dan dalam berkelangsungan dan dinamisasi Negara tersebut.
Plato mengatakan bahwa penyelenggara Negara yang baik ialah yang didasarkan
pada pengaturan/ hokum yang baik yang disebut dengan istilah nomoi.[10] Kemudian ide tentang Negara hukum popular
pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa yang didominasi
oleh Absolutisme.[11]
2. Hukum Dan Negara Menurut Filsafat
Barat
a.
Hukum
Seperti
halnya dalam pemikiran kenegaraan, para filosof Barat telah mengemukakan
berbagai gagasan dan teori tentang hokum sesuai aliran yang mereka anut, yaitu
sejak aliran hukum alam sampai aliran hukum modern.
Pendekatan
teologis yang pernah digunakan oleh para pemikir terutama pada abad pertengahan
sejak lahirnya teori hukum alam dari Hugo De Groot, yang mulai ditinggalkan
orang. Misalnya pendekatan teologis dari Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa
sumber hukum tertinggi adalah Tuhan dank arena itu ia membagi hokum menjadi
empat kategori, yaitu: (1)Hukum abadi,
(2)Hukum alam, (3)Hukum positif
dan (4)Hukum Tuhan.
Namun
menurut Aquinas hokum alam tidak dapat dipisahkan dari kodrat Tuhan, sekalipun
ada kaitannya dengan rasio manusia sebagai makhluk berpikir ciptaan Tuhan.
Sedangkan hukum Tuhan befungsi mengisi kekosongan pikiran manusia dan memimpin
manusia dengan cara yang tidak mungkin salah untuk menuju kehidupan akhirat,
hukum ini dijumpai dalam kitab suci.
Pendekatan
yang sama juga telah dilakukan oleh Johannes Althusius (1568-1638), menurutnya
hukum alam itu berasal dari Tuhan. Dengan demikian baik Aquinas maupun
Althusius mengakui adanya sumber hukum yang berasal dari Tuhan. Tetapi Hugo de
Groot berpendapat lain, menurutnya hukum alam ialah segala keteraturan yang
benar dan baik menurut rasio dan tidak mungkin salah. De Groot mengemukakan
beberapa contoh hukum alam yaitu:
1.
Kewajiban menghormati milik orang lain
2.
Kewajiban menghormati orang lain
3.
Kewajiban mengganti kerugian akibat
kesalahan seseorang
4.
Kewajiban menepati janji
5.
Kewajiban mengembalikan milik orang lain
yang diperoleh secara tidak sah.
De Groot berpendirian
bahwa hukum alam adalah bersumber pada rasio manusia, dengan demikian ia telah
melepaskan pendekatan teologis dalam bidang hukum. Sebagai pengganti pendekatan
teologis, pemikir Barat menggunakan pendekatan rasional yang dimulai oleh aliran
naturalis. Kemudian disusul oleh aliran positivisme, sejarah, sosiologis aliran
teori hukum murni dan aliran realism modern. Yang secara umum aliran dalam
pemikiran hukum Barat tersebut corak yang sangat menonjol dari manifestasi
pemikiran hukumnya adalah berdiri sendiri dan harus dilepaskan sama sekali dari
faktor apapun termasuk agama.
Pemikiran tersebut
adalah sebagai dampak dari rasionalisme abad ke 17 dan Aufklarung abad ke 18
yang mengakui raja-raja dan telah meniadakan kekuatan hokum dari Injil. Sejak
itu Tuhan dikeluarkan dari seluruh wilayah hokum, segala hukum menjadi hukum
manusia. Lebih lanjut rasionalisme di Barat telah melahirkan suatu konsep hukum
modern yang rasional yang berciri antara lain sekuler. Karena itu substansi
hukum modern sama sekali terpisah dari pertimbangan religious dan etis.
Kebenaran moral tidak lagi mengikat validitasnya.[12]
Kecuali aliran
positivism yang semula dari Jeremy Bentham (1748-1832) dan kemudian
dikembangkan oleh John Austin (1790-1859) sangat mempengaruhi dan karena itu
mewarnai pula pemikiran hokum di Barat sampai sekarang. Bentham berpendapat
“baik tidaknya sesuatu hokum dapat dilihat dari sudut manfaatnya (utility), jika ada konflik antara hukum
dan moral, maka manfaatlah yang memutuskan. Tetapi manusia harus tunduk kepada
hokum”.[13]
Dengan demikian yang menjadi tolak ukur hukum adalah kegunaan dari hukum
itu sendiri, sekalipun hukum itu harus bertentangan dengan moral ia tetap
mempunyai kekuatan mengikat. Ini berarti hukum menempati posisi yang lebih
tinggi dari moral.
Karena
pandangan Barat tentang konsep hukum yang telah memisahkan antara hukum dari
agama dan moral, maka hukum memiliki sifat dan cirri tersendiri pula. Hukum
semata-mata berakibat dengan kehidupan duniawi dan karena itu memiliki sifat keduniaan saja.
Hukum diperlukan dan berguna hanya dalam kehidupan manusia dalam masyarakat dan
negara. Sehingga telah melekatkan sifat sekuler yaitu bebas dari pengaruh agama
dan moral.
b. Negara
Teori negara dalam pemikiran filsafat di
Barat mempunyai karakteristik utama, yaitu;
1. Political Filosofis,
yaitu tentang bagaimana Negara seharusnya.
2. Juristic Theory,
yaitu tentang hubungan antara hokum dan negara.
Bila ditinjau dari
fungsi dan tujuan negara maupun dari fungsi dan tujuan hukum, maka akan
dihasilkan dua tipe negara hukum yang pada umumnya oleh para pakar
ketatanegaraan dinamakan “Negara hukum dalam arti sempit atau formal” dan
“negara hukum dalam arti luas atau material”. Utrecht menyebutkan dengan
“negara hukum klasik” untuk negara hukum dalam arti formal, dan “negara hukum
modern” untuk negara hukum dalam arti material.[14]
Negara hukum dalam arti
formal (sempit, klasik) ialah Negara yang tugasnya hanya menjaga jangan sampai
ada pelanggaran terhadap ketenteraman dan ketertiban umum, seperti yang telah
ditentukan oleh hukum yang tertulis (undang-undang). Negara hanya bertugas
melindungi jiwa, benda atau hak-hak asasi warganya secara pasif, tidak turut
campur tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan kesejahteraan
rakyat. Bahkan menurut Utrecht, Negara hanya mempunyai tugas primer untuk
melindungi dan menjamin kedudukan ekonomi dari golongan penguasa (rulling class)[15] dan
juga sering disebut “negara jaga malam”.
Negara
hukum dalam arti material (luas, modern) ialah Negara yang terkenal dengan
istilah welfare state yang bertugas
menjaga keamanan dalam arti luas, yaitu keamanan sosial dan meyelenggarakan
kesejahteraan umum berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil
sehingga hak-hak asasi warga negaranya benar-benar terjamin dan terlindungi.
W.
Friedman dalam bukunya, Law is a
Changging Society, juga berpendapat bahwa rule of law dapat dipakai dalam arti formal dan dalam arti
material. Rule of law dalam arti
formal tidak lain artinya dari organized public
power atau kekuasaan umum yang terorganisasi sehingga setiap negarapun
mempunyai rule of law walaupun Negara
totaliter sekalipun. Sedangkan rule of
law dalam arti material adalah rule
of law yang merupakan rule of just
law dan istilah inilah yang dimaksud dengan menegakkan rule of law sebenarnya.[16]
Dalam
upaya memahami bagaimana perspektif Barat tentang keberadaan negara, maka dapat
dilihat melalui pemikiran-pemikiran para filosofinya tentang Negara. Apabila
ditelusuri kedudukan Negara dalam pemikiran filosof Barat semenjak masa Yunani
kuno sampai masa modern, ternyata kelihatan bahwa konsep negara itu selalu saja
menjadi perhatian mereka.
Filsafat
Socrates dilandasi oleh konsepsi tentang “Yang Baik” untuk Negara maupun
penguasa sehingga dengan konsepsi tersebut setiap warga Negara akan mengenal
dan melakukan kewajiban, taat pada peraturan dan menegakkan moralitas keadilan.
Menurutnya, tugas utama adalah mendidik warga Negara dan keutamaan. Keutamaan
itu tidak lain adalah taat kepada hokum Negara, baik hukum yang tertulis maupun
yang tidak tertulis. Lebih jauh, ia menekankan bahwa keutamaan tersebut harus
didasarkan atas pengetahuan intuitif tentang yang baik dan yang benar.[17]
Bila Socrates berpijak
pada “yang baik”, maka Plato telah lebih konkrit lagi berpijak pada “idea
kebaikan”. Salah satu unsur dasar filsafat Plato ialah perbedaan yang
nyata antara gejala (fenomena) dan
bentuk idea (eidos). Menurutnya,
bahwa di samping dunia fenomena (yang kelihatan) terdapat satu dunia lain yang
tidak kelihatan yakni eidos.
Kaitannya dengan Negara,
dalam dunia fenomena terdapat negara-negara yang riil dan kurang sempurna.
Sedangkan dalam dunia eidos terdapat
Negara ideal. Isi Negara ideal itu ialah suatu yang melambangkan keadaan di
alam semesta, yang memiliki keteraturan dan keseimbangan sebagai cirri
utamanya. Apabila terjadi kekacauan dalam Negara ini merupakan petunjuk yang
nyata bahwa telah terjadi sesuatu yang pada dasarnya tidak seirama dengan apa
yang terdapat di jagad raya.[18]
Berbeda dengan Socrates
dan Plato yang menganut paham idealis dalam politik, maka Aristoteles berpaham
empirisme. Ia mengemukakan teorinya melalui pendekatan induktif.[19] Ia memperkenalkan bentuk negara yang
sempurna, yakni negara yang dipimpin oleh seseorang sejumlah kecil orang dan
banyak orang. Tugas utama Negara adalah menyelenggarakan kepentingan umum.
Setelah masa Yunani
kuno, maka kemudian tema pemikiran filsafat itu beralih ke masa Romawi. Yang
sebenarnya juga banyak mewarisi pemikiran dari Yunani. Namun, pada masa Romawi
tidak ada perubahan yang mendasar tentang konsep Negara. Filsafat politik
Romawi lebih mengkaji sistem kenegaraan yang lebih luas, masalah hukum
administrasi daerah yang sedemikian luas. Sedangkan pemikiran Yunani lebih
cenderung ditujukan pada masalah-masalah kehidupan bernegara dan bermasyarakat
yang biasanya membicarakan tentang bentuk-bentuk Negara, yang baik dan yang
tidak baik, hak dan kewajiban Negara dan sebagainya.
Pada masa pertengahan
pemikiran tentang negara lebih bersifat teosentrik dogmatic, sebagaimana
terlihat dalam pemikiran Augustinus (345-430). Meskipun dalam doktrin gereja
sejak lahirnya Agama Kristen dianut dengan kuat prinsip “persembahan kepada
kaisar apa-apa yang milik kaisar dan kepada Tuhan apa-apa yang menjadi milik
Tuhan”.[20]
Namun untuk kepentingan membela agama Kristen dan untuk memberikan landasan
pembenaran terhadap kekuasaan gereja, Augustinus menulis buku berjudul De Civitas Dei, yang membagi Negara ke
dalam dua jenis Civitas Dei (Negara
Tuhan) dan Civitas Terrena (Negara
Iblis). Ia berpendapat bahwa jenis negara yang pertama yang terabik dan ideal,
karenanya ia melontarkan kritik yang tajam terhadap jenis negara yang kedua. Ia
menolak dengan keras negara iblis, karena keadilan hanya dapat ditegakkan dalam
negara Tuhan.
Karena
Augustinus hidup pada abad pertengahan yang telah memberikan kududukan tinggi
dan peran banyak pada agama Kristen dalam kehidupan negara, maka pandangan
Augustinus itu telah dipengaruhi oleh keadaan ketika itu. Teorinya dengan latar
belakang pemikiran teologis merupakan satu pemikiran yang sangat teokratis
tentang negara. Karena itu disebut teokratis mutlak.[21]
Proses
pemikiran kenegaraan di Barat itu kemudian dilanjutkan oleh banyak pemikir
Eropa, misalnya pada masa pencerahan (Renaisans), Nicolo Machiavelli pada masa
itu menulis buku IL Principe (Sang Pangeran) yang memperkenalkan konsep baru tentang
Negara ketika itu. Menurutnya kehidupan negara harus dengan tegas dipisahkan
dari asas-asas kesusilaan. Seorang penguasa tidak perlu bersikap jujur. Ia
boleh bersikap seperti singa pada suatu ketika dan pada saat yang lain bersikap
seperti kancil. Kalaupun nilai-nilai agama akan digunakan, maka sekedar
pura-pura. Orang boleh melakukan apa saja sepanjang untuk kepentingan dan
tujuan Negara.[22]
Hugo
de Groot menulis buku De Jure Belli ac
Pacis (Hukum Perang dan Damai), dengan bukunya ini ia tidak saja dikenal
sebagai pemikir dalam bidang kenegaraan tetapi juga dalam bidang hukum. Hugo de
Groot mendasarkan teorinya pada hokum alam. Seperti halnya penganut hukum alam
lainnya, ia menyatakan bahwa Negara itu lahir karena adanya perjanjian, tetapi
perjanjian itu tidak diilhami oleh Tuhan, melainkan karena dorongan rasio
manusia sebagai dasar hokum alam.[23]
Karena
itu, ia sangat mengagungkan hokum alam. Hugo menafsirkan bahwa antara hukum
alam dan rasio sangat erat hubungannya. Konsep hukum alam menurutnya adalah
“suatu peraturan dari akal murni” yang berdiri sendiri tanpa ada kaitan sama
sekali dengan Sang Pencipta sebagai sumber dari hukum lama dan rasio manusia.
Hugo telah melepaskan sama sekali pendekatan teologis yang selama berabad-abad
di zaman pertengahan itu telah dianut orang.
Teori
Augustinus tentang negara yang bersifat sangat teokratis itu kemudian secara
gradual mengalami pergeseran dan perubahan. Perubahan itu dimulai dengan
lahirnya pandangan bahwa kedudukan negara sama seperti kedudukan gereja
sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1275). Pandangan Thomas
terhadap negara sama dengan Aristoteles. Negara adalah masyarakat yang sempurna
(society perfecta). Dalam masyarakat
seperti ini manusia mendapat perlengkapan sebagai makhluk sosial. Orang yang
tidak memperhatikan kepentingan umum tidak berlaku sebagai makhluk sosial dan
tidak sampai pada kesempurnaan hidup.
Pada
masa Renaisans, sebagai masa transisi antara abad-abad pertengahan dan modern
akal menggeser dominasi imam dogmatis (gerejani) dalam pemikiran kenegaraan.
Inilah awal mulai munculnya sosialisme, individualism dan humanisme di Barat
yang kelak melahirkan sekularisme politik (pemisahan politik dari dominasi
agama). Secara positif, filsafat tentang negara yang lebih rasional menjadi
lebih mungkin untuk dikembangkan. Tetapi sebaliknya, secara negative pemikiran
politik kenegaraan mulai “lepas kontrol” dari agama (gereja). Hal ini juga
berakibat pada longgarnya pertimbangan moral keagamaan dalam kalkulasi politik
kenegaraan. Di sisi lain fenomena pemikiran masa Renaisans ini kelak merupakan
embrio dari filsafat politik kenegaraan modern, seperti sosialis, leberalis,
demokratis, nasionalisme, dan pragmatism.[24]
Pada
masa Renaisans terdapat banyak tokoh yang melanjutkan aktivitas pemikiran
falsafi kenegaraan, di antaranya Nicolo Machevelli (1469-1527) yang
memperkenalkan konsep baru tentang negara diwaktu itu. Dalam pandangannya
kehidupan negara harus dengan tegas dipisahkan dari asas-asas moral. Sehingga
penguasa bebas berbuat apa saja seperti kekerasan, penipuan, pembunuhan
sepanjang untuk kepentingan dan tujuan negara. Yang terpenting adalah
mempertahankan kekuasaan negara. Moral dari hukum harus mentaati tuntutan
politik.
Sementara
Thomas Hobbes (1588-1679) memandang bahwa Negara bukan merupakan bayangan dari
keadaan “di atas sana” akan tetapi merupakan karya dan manipulasi dari
manusia-manusia di dunia ini. Dalam pandangannya, manusialah yang menentukan
negara dan politik, bukan lagi alam, Tuhan dan bukan lagi raja-raja. Karena
negara hukum diwujudkan oleh manusia, kebenaran tergantung dari manusia juga.
Apa saja yang dikehendaki oleh manusia itulah yang benar.[25]
Tidak
lama setelah ia meninggalkan karyanya mengenai Negara, Marx membuat tiga langkah
maju ke depan, yang mana merubah
hidupnya; ia melihat
pentingnya peranan revolusioner dari
proletariat; ia menemukan bahwa apa yang ia namakan dengan ‘demokrasi sejati’
berhubungan dengan apa yang disebut oleh yang lain dengan ‘komunisme’; dan ia
menyadari bahwa ia harus membuat sebuah studi yang kritis tentang ekonomi
politik.[26]
Relasi
daripada Negara dengan masyarakat sipil adalah sebuah contoh yang utama dari
gerakan ini, yaitu pada tahun 1844 kritik Marx terhadap filsafat maupun ekonomi
politik. Kritik Marx telah melangkah dari sejarah filsafat kuno, ke konsepsi
daripada Negara. Kemudian baru terlihat bahwa ‘bentuk-bentuk politik berasal
dari masyarakat sipil dan anatomi daripada masyarakat sipil dapat ditemukan
pada ekonomi politik’.
Kemudian
muncul selanjutnya adalah paham demokrasi, yang pada hakikatnya adalah satu
paham liberal yang berakar dari pemikiran seperti John Locke (1632-1704), Jean
Jacques Rousseau (1712-1778) dan Mountesquieu (1689-1755). Paha mini dalam kehidupan
bernegara sangat mengagung-agungkan individu dan rakyat sebagai pemilik
kedaulatan yang sesungguhnya yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan serta
kebebasan yang seluas-luasnya terutama di bidang ekonomi yang melahirkan
kapitalisme dan kolonialisme.
3. Hubungan Antara Negara dan Hukum
Keinginan
dan perjuangan manusia untuk hukum yang tidak dapat dipisahkan dan objektif
adalah satu keinginan yang menginginkan kekuasaan untuk membebaskan diri dari
berbagai peraturan dan mempergunakan hukum sebagai piranti dominasi. Dalam
sejarah, kecenderungan terakhir ini cukup berhasil, karena hukum dilaksanakan
oleh manusia oleh sebab itu prinsip objektif dari hukum kemudian tercemari oleh
tujuan pihak yang melaksanakannya. Oleh karena itu ada kontroversi yang diperjuangkan
atas nama prinsip tersebut, seperti keutamaan negara tertib hukum (rule
of law) atau hak alami individu yang dalam kenyataannya telah berjuang
antara persaingan organisasi dengan kepentingan untuk berkuasa.[27]
Berbicara
tentang hubungan Negara dan hukum, maka paling tidak dilandasi dengan adanya
tiga teori, yaitu :
1.
Negara itu adalah superior terhadap
hukum.
Sarjana-sarjana dan
ahli Filsafat Nicolo Machiavelli (1469-1627) Jean Bodin (1530-1596), Thomas
Hobes (1588-1679), Ihering dan mazhab hukum modern di Jerman. Telah melahirkan
teori kedaulatan untuk menopang paham negara dengan kekuasaan mutlak yang
merupakan konsep kedaulatan yang monistis.[28]
Inti konsep ini ialah bahwa kekuasaan negara merupakan kekuasaan tertinggi dan
tidak terbatas yang dapat memaksakan perintah-perintahnya. Negara yang memiliki
kekuasaan tertinggi tersebut menghendaki penataan mutlak dari semua warga
negaranya.
Ajaran
ini kemudian diteruskan Jhon Austin (1790-1859), sarjana hukum dari Inggris,
pelopor aliran analitis. Bagi Austin yang berdaulat dalam pembentukan hukum
yang tertinggi dan hukum positif adalah yang dibuat oleh yang berdaulat yaitu
Negara (raja) oleh karena itu konsekwensinya yang berdaulat yaitu Negara itu
berada di atas hokum yang diciptakannya sendiri.
Konsep
kedaulatan ini, dengan Negara (raja) mempunyai kekuasaan absolute telah
menimbulkan tindakan sewenang-wenang dari raja berupa penindasan terhadap
hak-hak asasi manusia sehingga mendapatkan tantangan dari aliran pluralisme
politik yang menyangkal kekuasaan tertinggi dan tidak terbatas dari Negara.
2.
Hukum itu mendahului Negara, ketika negara
itu muncul
Teori ini muncul
sebagai kecaman terhadap teori kedaulatan Negara yang menjadi superior terhadap
hukum. Teori ini dikemukakan oleh Hugo Krabbe (1857-1936) yang mengecam teori
kedaulatan negara itu dari segi etis, yaitu dari segi perasaan hukum yang
bersumber pada individu dan bersifat etis normatif karena merupakan manifestasi
dari kesadaran individu akan hal-hal yang baik dan buruk. Menurut Krabbe, hukum
bukanlah semata-mata apa yang secara formal dibandingkan oleh badan legislatif
suatu negara.
Hukum
bersumber pada perasaan hukum anggota-anggota masyarakat. Perasaan hukum adalah
sumber dan merupakan pencipta hukum, dan negara hanya member bentuk pada perasaan
hukum itu. Negara tidak berdaulat mutlak karena perasaan hukum menentukan dan
membatasi isi hukum. Bukan Negara, melainkan hukumlah yang berdaulat. Teori
Krabbe ini dikenal sebagai teori “kedaulatan hukum”, yang kemudian menimbulkan
bentuk “Negara hukum,” yaitu negara yang susunannya diatur sehingga segala
kekuasaan alat pemerintahan didasarkan atas ketentuan hukum, dan begitu pula
segenap warga negaranya harus menundukkan dirinya pada hokum.
3.
Negara itu sama-sama kedudukannya dengan
hukum.
Paham absolutism, baik
absolutism negara maupun hukum kemudian memunculkan teori “perjanjian
masyarakat” yang dinyatakan oleh Jhon Lucke (1632-1704) dan J.J. Rousseau
(1712-1778). Locke dalam bukunya Two
Treatises of Civil Government mengemukakan kekuasaan penguasa tidak pernah
mutlak, tetapi selalu terbatas karena dalam mengadakan perjanjian dengan
seseorang atau sekelompok orang, para individu tidak menyerahkan seluruh hak
alamiahnya. Fungsi perjanjian masyarakat menurutnya untuk menjamin dan
melindungi hak manusia.
Ajaran ini menghasilkan
“negara konstitusional”, bukan Negara absolute. Dalam bukunya itu Locke
mengemukakan bahwa untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar hak asasi
warganya terlindungi, maka kekuasaan negara harus dibagi ke dalam tiga kekuasaan,
yaitu legislatif (sebagai pembuat undang-undang), eksekutif (sebagai yang
mempertahankan peraturan dan mengadili) dan federatif (sebagai kekuasaan
hubungan luar negeri).[29]
Friedmann menyebutkan
ada empat upaya untuk memecahkan pertentangan untuk mendapatkan supermasi
antara hubungan negara dan hukum, yaitu:
Pertama, pemecahan
masalah yang dilakukan oleh Kelsen yaitu dengan cara mengidentifikasi
tujuan-tujuan ilmu hukum, negara dan hukum. Negara akan terwujud sejauh apabila
ia mampu mewujudkan dirinya sendiri dan atas dasar hukum. Hukum harus memancar
dari negara dan sebagai sumber tertinggi kewenangannya. Dalam bentuk yang amat
murni dan analitis ini adalah pemecahan tetapi teori ini tidak berupaya
memecahkan masalah sebagai fenomena sosial dan sejarah. Jawaban tersebut
kedengarannya sederhana, karena hukum dipahami sangat formal. Sejauh kekuasaan
pusat menetapkan hukum, mengurusi dan juga menetapkan berbagai masalah, maka
negara dan hukum menjadi satu. Tetapi, masalah-masalah politik tidaklah diselesaikan
tetapi hanya ditempatkan oleh teori Kelsen.
Kedua, pemecahan yang
dilakukan oleh Hegel yang merupakan sintesis murni, hukum adalah kebebasan,
karena kehendak rasional manusia mengenai kebebasannya seperti yang diatur
dalam kehidupan masyarakat. Dan keteraturan masyarakat yang dapat dikenali
menurut Hegel adalah negara, karena dalam negara kehendak pada masyarakat akan
mewujudkan diri dalam kesempurnaan. Individu yang dianggap sebagai pusat “hak
abstrak” tidak mewujudkan kehendak rasional dari manusia yang bebas, sedangkan
kemanusiaan di sisi lain tidak diakui sebagai wujud dari dasar masyarakat
hukum.
Ketiga, yang dilakukan
untuk memecahkan dualism antara negara dan hukum adalah dilakukan oleh Duguit.
Dengan meniadakan Negara secara pribadi bebas, dengan menyamakan tertib hukum
dengan prinsip solidaritas sosial.
Keempat adalah teori
Marxis, baik hukum maupun negara akan sama-sama menghilang, ketika alat
produksi jatuh ke tangan masyarakat. Sejauh ini asumsi tersebut tidak pernah
terealisasi, justru yang terjadi adalah adanya pengendalian kekuasaan terhadap
kehidupan masyarakat yaitu negara.
4.
Hukum
Dan Negara Filsafat Islam
a.
Hukum
Secara
umum dapat dikatakan bahwa pemikir Islam telah sependapat bahwa ada kaitan yang
sangat erat antara agama dan hukum. Salah satu argumentasi yang paling jelas
adalah sumber hukum Islam itu. Dalam kepustakaan hukum Islam selalu disebutkan
bahwa sumber-sumber hukum Islam adalah Alquran yang utama, kemudian hadis dan
ra’yu.[30] Berdasarkan ketentuan ini ajaran Islam
menyatakan bahwa pembuat aturan yang harus dianut oleh manusia adalah Allah.[31]
Namun
demikian sesuai dengan sifat wahyu Allah yang abadi, maka ayat-ayat hukum dalam
Alquran berjumlah kira-kira 4% dari seluruh ayat Alquran, sehingga banyak
sekali segi-segi yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang belum diatur
oleh nas. Maka di sinilah terbuka suatu wilayah bagi manusia untuk mengisinya.
Maka sebagaimana ditegaskan dalam hadis melalui dialog dengan Muaz bin Jabal,
lahirlah dalam hukum Islam sumber yang ketiga yaitu al-Ra’yu. Melalui inilah manusia berperan dalam hukum dengan
menggunakan akalnya. Jadi, hukum dalam konsep Barat, rasio manusia adalah
sumber yang tunggal bagi hokum.[32]
Berbeda dengan
pendekatan Barat yang telah memisahkan agama dari wilayah hukum. Menurut Hazairin bahwa urusan
hukum bukan semata-mata urusan manusia, tetapi juga urusan Allah yang
menciptakan manusia itu sendiri. Lebih lanjut menurut Hazairin apabila hokum
dilihat dari sudut keadilan, “sekalipun telah diatur sebaik-baiknya belum merupakan
suatu paparan keadilan, tetapi barulah memberikan pegangan pokok mencapai
keadilan”. Ini berarti kemampuan manusia sangat terbatas untuk dapat
mengaplikasikan keadilan”. Ini berarti kemampuan manusia sangat terbatas untuk
dapat mengaplikasikan keadilan secara ideal.[33]
Adapun
substansi hokum Islam jelas mencakup bidang yang lebih luas dibandingkan dengan
konsep Barat. Hukum Barat membatasi substansi itu hanya pada aturan tingkah
laku manusia yang normatif, sedangkan hukum Islam mencakup pula kesusilaan,
demikian eratnya hubungan hukum dengan kesusilaan dalam Islam telah
dimanifestasikan dalam al-Ahkam
al-Khamsah (wajib, sunah, haram, makruh dan mubah). Dan orientasi hukum
Islam bukan hanya untuk kepentingan keduniaan saja, karenanya hukum Islam
memiliki sifat yang melekat padanya, yaitu duniawi dan ukhrawi.
b.
Negara
Tentang
teori asal mula timbulnya negara menurut para filosof muslim terjadi perbedaan
dengan para filosof Yunani dengan diwarnai oleh pengaruh aqidah Islam. Para
pemikir-pemikir Islam baik secara eksplisit maupun implicit menyatakan bahwa
tujuan bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan lahiriah manusia
saja, tetapi juga kebutuhan rohaniah dan ukhrawiyah.[34]
Sebagaimana Plato, Ibnu
Abi Rabi’, Farabi (870-950), Mawardi (975-1059), Ghazali (1058-1111) dan Ibnu
Taymiyah (1.1263) serta Ibnu Khaldun (1.1332) berpendapat bahwa manusia,
seseorang tidak dapat mencukupi kebutuhan alamiyah sendiri tanpa bantuan yang lain
dan oleh karenanya mereka saling memerlukan. Hal ini mendorong mereka saling
membantu dan berkumpul serta menetap di satu tempat. Tetapi sebagai seorang
muslim tidak melepaskan pengaruh agama dan memasukkan paham ke Tuhanan dalam
teorinya tentang asal Negara.
Kalau
menurut pemikir Yunani, fitrah manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat
hidup di luar masyarakat, maka para filosof muslim mengatakan bahwa Allah telah
menciptakan manusia dengan watak yang cenderung untuk berkumpul dan
bermasyarakat dan membutuhkan orang lain dan untuk menjamin keteraturan
hubungan hak dan kewajiban masyarakat itu Allah meletakkan peraturan hak dan
kewajiban bagi masyarakat sebagai rujukan yang harus mereka patuhi. Para
filosof muslim sepakat dengan pemikir-pemikir Yunani bahwa manusia itu makhluk
sosial tetapi ia menambahkan tiga butir pengertian.[35]
1.
Kecendrungan manusia untuk berkumpul dan
bermasyarakat itu watak yang diciptakan oleh Tuhan dan manusia.
2.
Allah telah meletakkan peraturan tentang
hak dan kewajiban masing-masing masyarakat sebagai rujukan yang harus dipatuhi
yang tercantum dalam Alquran.
3.
Allah juga telah mengangkat penguasa
yang bertugas menjaga berlakunya peraturan rakyat dari Allah dan mengelola
masyarakat berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Allah.
Menurut Sjadzali keenam
pemikir yang mewakili pemikir zaman Klasik dan Pertengahan itu tentang gagasan
politik terdapat dua cirri umum, Pertama,
mereka tampak jelas sependapat dengan pemikiran Yunani, terutama Plato, tentang
konsep kenegaraan, meskipun pengaruhnya itu tidak sama antara satu pemikir
dengan pemikir lainnya.
Kedua,
selain Farabi, mereka menyatakan penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada
pada zaman mereka masing-masing. Bahkan di antara mereka ada yang memberikan
legitimasi pada sistem pemerintahan monarki saat itu, namun dengan tetap
memberikan saran-saran perbaikan dan reformasi.
Kemudian sejak akhir
abad ke-19 pemikiran politik dikalangan pemikir Islam mengalami pergeseran dan
berkembanglah pluralitas pemikiran tentang Islam dan tata negara. Para pemikir
Islam yang mewakili zaman Klasik dan Pertengahan pada dasarnya menerima dan
tidak mempertentangkan keabsahan sistem pemerintahan monarki yang mereka
temukan pada zaman mereka masing-masing, dengan khalifah yang memerintah secara
turun-temurun dan dengan kekuasaan mutlak berdasarkan prinsip bahwa khalifah
itu adalah bayangan Allah di bumi.
Para
pemikir Islam tidak memberikan perhatian yang cukup besar terhadap tata cara
begaimana khalifah itu naik tahta, dengan pengangkatan, penunjukkan atau
pemilihan dan kalau pemilihan bagaimana cara memilih dan oleh siapa. Sebagian
besar mereka beranggapan bahwa kekuasaan khalifah itu mandate dari Tuhan
sehingga bagi mereka yang taat kepada khalifah merupakan kewajiban agama. Hanya
Mawardilah yang mengemukakan teori kontrak sosial dan hanya dia pula yang
dengan jelas menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu kepada negara dapat
diturunkan dari tahta, meskipun tanpa rincian tentang cara penurunannya.
Sumbangan
mereka kepada perbaikan kehidupan politik pada zaman masing-masing umumnya
terbatas pada saran-saran tentang syarat-syarat yang harus dimiliki oleh kepala
negara, tentang perilaku dan kebijaksanaannya dalam mengelola negara.
Baru
menjelang akhir abad ke-19 pemikiran politik Islam mengalami perkembangan dan
mulai timbul keanekaragaman dan perbedaan pendapat yang mendasar antara para
pemikir Islam hal ini terutama disebabkan oleh tiga factor, Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia
Islam yang disebabkan oleh sebab-sebab internal. Kedua, tantangan negara-negara Eropa terhadap integrasi politik dan
wilayah dunia Islam yang berjuang pada dominasi atau penjajahan. Dan ketiga, keunggulan Negara-negara Eropa
dalam bidang-bidang ilmu, teknologi.
Dengan
kehadiran tiga factor tersebut maka terjadilah pengelompokkan dalam kalangan
pemikir Islam kontemporer sejak waktu itu. Kelompok
pertama dengan kecenderungan tradisionalnya dan semangat anti Barat
berpendirian bahwa Islam bukan sekedar agama, tetapi merupakan suatu pola hidup
yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan
politik. Oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan umat Islam mereka harus
kembali kepada pola hidup generasi pertama Islam, semasa Nabi dan Khulafa’
Rasyidin dengan tidak perlu meniru Barat.[36]
Model teori seperti ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk
menekankan aspek legal dan formal idealism politik Islam yang biasanya ditandai
dengan kecenderungan ingin menerapkan syariah secara langsung sebagai
konstitusi negara.
Kelompok
kedua, sebaliknya beranggapan bahwa Islam tidak berbeda dari agama-agama yang
lain, yang hanya mengurusi hubungan antara manusia dengan Tuhan, sedangkan soal
hidup bermasyarakat baik bidang politik ekonomi maupun lainnya terserah
sepenuhnya kepada umat tentang cara atau pola peraturan yang dipakainya. Model
pemikiran kelompok ini berpendapat bahwa Islam “tidak meletakkan suatu pola
baku tentang teori negara (sistem politik) yang harus dijalankan oleh umat.
Bahkan istilah Negara (dawlah) pun
tidak dapat ditermasukkan dalam Alquran.
5. Konsep Negara Hukum dalam Islam
Ibnu
Khaldum berpendapat bahwa ada dua macam bentuk negara hukum yaitu (1) siyasah diniyah yang pemakalah
terjemahkan sebagai “Nomokrasi Islam” dan (2) siyasah ‘aqliyah yang pemakalah terjemahkan sebagai “Nomokrasi
Sekuler”. Ciri pokok yang membedakan kedua macam nomokrasi itu ialah
pelaksanaan hukum Islam (Syari’ah) dalam kehidupan negara dan hukum sebagai
hasil pemikiran manusia. Dalam nomokrasi Islam, baik syariah maupun hukum yang
didasarkan pada rasio manusia, kedua-duanya berfungsi dan berperan dalam
Negara. Sebaliknya pada nomokrasi secular manusia hanya menggunakan hukum
semata-mata sebagai hasil pemikiran mereka. Konsep Ibnu Khaldun yang terakhir
ini, pada hemat pemakalah memiliki banyak persamaan dengan konsep negara hukum
menurut pemikiran Barat.
Suatu
miskonsepsi atau pemahaman yang tidak benar terhadap konsep negara dari sudut
Islam sampai sekarang masih berbekas pada persepsi para sarjana Barat, mereka
memahami konsep negara dalam Islam sebagai “tekrasi”, berasal dari kata theos = Tuhan, dan kratos = kekuasaan. Predikat yang tepat untuk konsep Negara dalam
Islam adalah nomokrasi (Islam) bukan teokrasi. Karena teokrasi adalah suatu
Negara sebagaimana dirumuskan oleh Ryder Smith, yaitu Negara yang diperintah
oleh Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Dalam The
Oxford Dictionary tekrasi dirumuskan sebagai suatu bentuk pemerintahan yang
mengakui Tuhan (atau Dewa) sebagai Raja atau penguasa.
Karena
itu, predikat negara dalam Islam yang paling tepat adalah nomokrasi Islam
artinya kekuasaan yang didasarkan kepada hukum-hukum yang berasal dari Allah,
karena Tuhan itu abstrak dan hanya hokum-Nyalah yang nyata tertulis. Majid
Khadduri mengutip rumusan nomokrasi dari The
Oxford Dictionary sebagai berikut : Nomokrasi adalah suatu sistem
pemerintahan yang didasarkan pada suatu kode hukum: suatu rule of law dalam suatu masyarakat.[37]
Apabila rumusan
Khadduri itu digunakan sebagai titik tolak, maka pada hemat pemakalah rumusan
nomokrasi Islam adalah : suatu sistem pemerintahan yang didasarkan pada
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam (Syari’ah). Ia merupakan rule of Islamic law.
Nomokrasi
Islam adalah suatu negara hukum yang memiliki prinsip-prinsip umum sebagai
berikut:[38]
1.
Prinsip kekuasaan sebagai amanah.
2.
Prinsip musyawarah.
3.
Prinsip keadilan. Prinsip persamaan.
4.
Prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia.
5.
Prinsip peradilan bebas.
6.
Prinsip perdamaian.
7.
Prinsip kesejahteraan.
8.
Prinsip ketaatan rakyat.
Prinsip-prinsip
tersebut tercantum dalam Alquran dan diterapkan oleh Sunnah Rasulullah.
C.
Penutup
Dari apa yang pemakalah
paparkan di atas, bisa kita melihat banyak perdebatan dan teori mengenai hukum
dan negara. Dan masing-masing dari Negara mempunyai sejarah perjalanan hukum
ketatanegaraan sendiri-sendiri. Yakni hubungan/ relasi antara negara dan hukum
sangat banyak terdapat dalam sejarah antara hubungan negara dan hukum, sehingga
tidak hayal seringkali masing-masing pemikir tersebut menyalahkan/ mengkritik
para pendahulunya di dalam konsep tentang hukum dan negara. Ini bisa dimaklumi
karena teori yang diberikan bersesuaian dengan kondisi sewaktu teori atau
pendapat tentang hukum dan negara dicetuskan.
Berbicara tentang
hubungan Negara dan hukum, maka paling tidak dilandasi dengan adanya tiga
teori, yaitu:
1.
Negara itu adalah superior terhadap
hukum.
2.
Hukum itu mendahului Negara, ketika negara itu muncul.
3.
Negara itu sama-sama kedudukannya dengan
hukum.
Konsep Negara dalam
Islam di istilahkan dengan Nomokrasi Islam, yang mempunyai prinsip-prinsip
sebagai berikut :
1.
Prinsip kekuasaan sebagai amanah
2.
Prinsip musyawarah
3.
Prinsip keadilan
4.
Prinsip persamaan
5.
Prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia
6.
Prinsip peradilan bebas
7.
Prinsip peramaian
8.
Prinsip kesejahteraan
9.
Prinsip ketaatan rakyat
DAFTAR PUSTAKA
As-Shiddiqie, Jimly. Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.
Azhary,
Muhammad Tahir. Negara Hukum, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992
Budiarjo,
Meriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:
Gramedia, 1982.
Efendi,
Bahtiar. Islam dan Negara, Jakarta:
Paramadina, 1998.
Hartono,
Sunaryati. Apakah The Rule of Law itu ?,
Bandung: Alumni, 1968.
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakarta:
Tintamas, 1974.
Isjwara,
Pengantar Ilmu Politik, Bandung:
Binacipta, 1982.
J.C.T.
Simorangkir, et all, Kamus Hukum, Jakarta:
Sinar Grafika, 2000.
Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa
Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Khadduri, Majid. War and Peace in the Law of Islam, Baltimore
and London: The John Hopkin, 1995.
M.
Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Mahmassani,
Subhi. Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung:
Al-Ma’arif, 1981.
Maududi, Abu al-A’la. The Islamic Law and Constitution, terjh.
Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi: Sistem
Politik Islam, Bandung: Mizan, 1990.
Muslehuddin, Muhammad. Philosofhy of Islamic Law and the
Orientalist A Comparative Study of Islamic Legal System, terj. Yudian
Wahyudi Asmin, Filsafat Hukum Islam dan
Pemikiran Orientalis: Studi perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogya: Tiara
Wacana, 1997.
Noer,
Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat
(Jakarta: Rajawali, 1972.
Sadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993.
Siswosubroto, Koesriani.
Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1988.
Soehino,
Ilmu Negara, Yokyakarta: Liberty,
1980.
Soemardi,
Dedi. Sumber-Sumber Hukum Positif , Bandung:
Alumni, 1986.
Theo Huijbers, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam
dan Barat, Jakarta: Rajawali Press, 1996.
Tutik,
Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011.
Usman,
Suparman. Hukum Islam, Jakarta: Gema
Media Pratama, 2001.
Utrecht,
Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Jakarta: Ictiar, 1962.
W. Friedmann, Legal Theory, terj. Muhammad Arifin,Teori & Filsafat Hukum, Jilid III,
Jakarta: Rajawali Pers, 1994.
Zainuddin, A. Rahman
Zainuddin. Kekuasaan dan Negara:
Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992.
[1]Jimly As-Shiddiqie,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h. 12-13.
[2]J.C.T. Simorangkir, et all, Kamus Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,
2000),h.66.
[3]Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa
Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 531.
[4]Muhammad Muslehuddin, Philosofhy
of Islamic Law and the Orientalist A Comparative Study of Islamic Legal System,
terj. Yudian Wahyudi Asmin, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi perbandingan Sistem Hukum Islam (Yogya:
Tiara Wacana, 1997), h. 13.
[5]Suparman Usman, Hukum Islam (Jakarta: Gema Media
Pratama, 2001), h. 31.
[6]Dedi Soemardi, Sumber-Sumber Hukum Positif (Bandung:
Alumni, 1986), h. 15.
[7]Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam (Bandung:
Al-Ma’arif, 1981), h. 96.
[8]J.C.T. Simorangkir, Kamus Hukum, h. 104.
[9]Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus…, h. 999.
[10]Titik Triwulan
Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.
61.
[11]Ibid.
[12]Koesriani Siswosubroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1988), h.389.
[13]John Austin memasukkan Law of God
sebagai hukum, namun yang dinamakannya sebagai hokum positif hanyalah yang
dibuat oleh manusia (set by men to men).
Lihat, Dias & Hughes, Jurisprudence
(London: Butterworth & Co. (publishera) Ltd., 1975), h. 377.
[14]Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Jakarta: Ictiar,
1962), h. 11.
[15]Ibid
[16]Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law itu ? (Bandung:
Alumni, 1968), h. 4-5.
[17]Theo Huijbers, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam
dan Barat (Jakarta: Rajawali Press, 1996), h. 21-23.
[18]A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992), h. 142.
[19]Ibid.
[20]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 28.
[21]Ciri teokrasi yang sangat
menonjol dalam teori Augustinus ialah bahwa yang memilih penguasa adalah Tuhan.
Hal ini berbeda dengan nomokrasi Islam, Kepala Negara dipilih oleh rakyat
sebagaimana telah diterapkan dalam Khilafah.
[22]Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Rajawali, 1972), h.
63-71.
[23]Soehino, Ilmu Negara (Yokyakarta: Liberty, 1980), h. 95.
[24]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum., h. 175.
[25]A. Rahman
Zainuddin, Kekuasaan dan Negara,
h.49.
[26]Theo Huijbers, Filsafat Hukum, h. 55.
[27]W. Friedmann, Legal Theory, terj. Muhammad Arifin,Teori & Filsafat Hukum, Jilid III
(Jakarta: Rajawali Pers, 1994), h. 243.
[28]Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Binacipta, 1982), h. 108.
[29]Utrecht, Pengantar Hukum, h. 9. Dan Meriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 151-153.
[30]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h. 39.
[31]Abu al-A’la Maududi, The Islamic Law and Constitution, terjh.
Asep Hikmat, Hukum dan Konstitusi: Sistem
Politik Islam (Bandung: Mizan, 1990), h. 96.
[32]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h. 41
[33]Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta: Tintamas, 1974), h. 67-68.
Dan M. Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 21.
[34]Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 43.
[35]Ibid.
[36] Bahtiar Efendi, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina,
1998), h. 12.
[37]Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam
(Baltimore and London: The John Hopkin, 1995), h. 15’
[38]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h. 77-111
Hukum dan Negara
Reviewed by Jp Tbn
on
Mei 06, 2014
Rating:
Tidak ada komentar: