Tafsir Maudhu'i

TAFSIR MAUDHU’I
Oleh: JANNUS TAMBUNAN S.H.I

 
A.      Pendahuluan
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, untuk disampaikan kepada umat Islam, dan al-Qur’an adalah sebagai pedoman aturan kehidupan bagi umat Islam yang bersifat historis dan normatif.
Ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat historis dan normatif  tidak semua dapat dipahami secara tekstual saja, karena banyak dari ayat-ayat al-Quran yang masih mempunyai makna yang luas (abstrak) dan perlu untuk ditafsirkan lebih dalam, agar dapat diambil sebuah hukum ataupun hikamah yang dapat dipahami dan diamalkan oleh seluruh Manusia secara umum dan umat Islam secara khusus.
Al-Qur’an juga sebagai aturan yang menjadi penentu dasar sikap hidup manusia, dan membutuhkan penjelasan-penjelasan yang lebih mendetail, karena pada zaman sekarang banyak permasalahan-permasalahan yang komplek, dan tentunya tidak sama dengan permasalahan-permasalahan yang ada pada zaman nabi Muhammad SAW.
Tafsir al-Qur’an yang dianggap mampu menjadi solusi dari kondisi di atas mengalami perkembangan yang luar biasa. Ahli tafsir dengan berbekalkan keilmuannya mengembangkan metode tafsir al-Qur’an secara berkesinambungan untuk melengkapi kekurangan atau mengantisipasi penyelewengan ataupun menganalisa lebih mendalam tafsir yang sudah ada (tentunya tanpa mengesampingkan asbab al-nuzul, nasikh wa mansukh, qira’at, muhkamat mutashabihat, ‘am wa khash, makkiyat madaniyat, dan lain-lain).
Tipologi tafsir berkembang terus dari waktu ke waktu sesuai dengan tuntutan dan kontek zaman, dimulai dari tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir riwayat berkembang ke arah tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’tsur menggunakan nash dalam menafsirkan Al-Qur’an, sementara tafsir bi al-ra’yi lebih mengandalkan ijtihad dengan akal. Sedangkan berdasarkan metode terbagi menjadi: tafsir tahlili, tafsir maudhu’i, tafsir ijmali dan tafsir muqaran.
Tafsir maudhu’i atau tematik adalah tafsir berperan sangat penting khususnya pada zaman sekarang, karena tafsir maudhu’i dirasa sangat sesuai dengan kebutuhan manusia dan mampu menjawab permasalahan yang ada.Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah al-Qur’an ada berdasar subjek atau topik.
            Dengan adanya pemaparan di atas, maka dalam makalah ini penulis mencoba untuk menyajikan satu diantara empat metode tafsir tersebut, yaitu tafsir maudhu’i (tematik) dan penulis menyajikan dari segi makna, sejarah, bentuk, langkah-langkah yang ditempuh, keistimewan, perbedaan dengan tafsir yang lain serta kedudukannya.
B.       Pembahasan
1.    Pengertian tafsir maudhu’i
Secara etimologi tafsir berarti, menyikap maksud dari suatu lafal yang sulit untuk dipahami.[1] Menurut Manna’ Khalil al-Qathan pengertian etimologinya adalah menjelaskan, menyikap dan menerangkan makna yang abstrak.[2] Secara bahasa kata maudhu’i berasal dari kata موضوع  yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang artinya masalah atau pokok pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Quran.[3] Arti maudhu’i disini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atau sektor, sehingga tafsir maudhu’I berarti penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang mengenai satu judul/topic/sector pembicaraan tertentu. Secara semantik, tafsir maudhu’i berarti penafsiran al-Qur’an menurut tema atau topik tertentu. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan tafsir tematik.[4]
Yang dimaksud dengan metode tematik ialah cara mengkaji dan mempelajari ayat al-Qur'an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[5]
Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat seperti arti hadis maudhu’i  yang berarti hadis yang didustakan/ dipalsukan/ dibuat-buat.[6]
Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik) ialah suatu metode penafsiran al-qur’an dimana seorang mufassir mengkaji al-qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan dalam al-qur’an, baik yang berkaitan dengan hal kehidupan, sosiologis, ataupun kosmologi. Dalam metode ini, semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbabun nuzul, kosa kata, dan sebagainya. Semuanya dikaji secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dpat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Menurut al-Farmawi tafsir maudhu’i adalah suatu metode untuk mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas untuk judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistinbatkan hukum-hukum yang terkandung didalamnya.[7]
Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah tema yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke al-qur’an.[8]
Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili.[9]
M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan tema ragam yang ada dalam surat tersebut antara satu ayat dengan ayat lainnya akan bisa dihubungkan dengan tema tersebut, sehingga dalam satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang akan dibahas dalam satu pokok permasalahan tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.[10]
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa tafsir maudhu’i yaitu suatu metode penafsiran al-qur’an dimana para mufassir berupaya mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an dari berbagai surat yang memiliki kesamaan tema, sehingga mengarah kepada suatu pengertian dan tujuan yang sama pula.
2.    Sejarah tafsir maudhu’i
Dalam sejarahnya, sebenarnya metode maudhu’i sudah ada sejak zaman Rasululllah SAW, yaitu ketika Rasul ingin menjelaskan kepada para sahabat bahwa ketidakjelasan sebuah ungkapan dalam al-Qur’an dapat diselesaikan dengan ungkapan lain yang ada dalam al-Qur’an. Hal ini dapat kita lihat ketika Nabi menjelaskan surat al-Baqarah ayat 37:
#¤)n=tGsù ãPyŠ#uä `ÏB ¾ÏmÎn§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§q­G9$# ãLìÏm§9$#
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Untuk menjelaskan kata “kalimat” pada firman Allah diatas, Nabi mengemukakan ayat:
Ÿw$s% $uZ­u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»yø9$#
Keduanya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah Menganiaya diri Kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni Kami dan memberi rahmat kepada Kami, niscaya pastilah Kami Termasuk orang-orang yang merugi.”
Contoh lain, dapat kita lihat dalam riwayat yang disampaikan oleh Ahmad al-Bukhari, Muslim, dan lainnya dari Ibn Mas’ud yang menceritakan bahwa tatkala turun QS. al-An’am ayat 82:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik)”.
Para sahabat merasa kebingungan dan bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah di antara kami yang tidak pernah mendzalimi diri sendiri?” Beliau menjawab, “Hal itu bukan seperti yang kalian kira. Bukankah kalian pernah mendengar perkataan Luqman al-Hakim bahwa kemusyrikan merupakan kedzaliman yang besar?[11] Itulah maksudnya.
Dalam mengomentari penafsiran Nabi di atas, DR. Ali Khalil mengatakan, Rasulullah SAW sebenarnya ingin memberi tahu kepada para sahabatnya bahwa ketidakjelasan sebuah ungkapan dalam al-Qur'an dapat diselesaikan dengan melihat ungkapan lain dalam al-Qur'an. Ia ingin menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya benih tafsir maudhu’i sudah ditanam oleh Nabi sendiri.[12]
Adapun penafsiran dengan metode ini sebenarnya juga mulai dirintis oleh ulama-ulama tafsir klasik, seperti Fakhruddin al-Razi. Namun, pada masa berikutnya beberapa ulama lebih menekuninya secara serius. Di antara kitab tafsir yang dimasukkan dalam kategori ini misalnya at-Tafsir al-Wadlih karya Muhammad Mahmud al-Hijaziy, dan Tafsir al-Maudhu’ li Suwar al-Qur’an al-Karim karya Muhammad al-Ghozali.[13]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode tematik bukanlah sebuah metode penafsiran baru. Karena ulama masa lampau telah banyak mengkajinya kendati belum sampai pada taraf model penafsiran tematik sebagaimana yang berkembang sekarang dalam bentuk pengertian, rumusan, dan langkah-langkah kongkrit.
Penafsiran tematik secara spesifik dan lebih sistematis baru dilakukan oleh Ahmad al-Sayyid al-Kumi (ketua fakultas ushuluddin universitas al-Azhar), yang diikuti oleh kolega-kolega dan para mahasiswanya. Sebagai sebuah fakultas yang didalamnya membidangi al-Qur’an pada jurusan tafsir hadits, maka karya-karya tafsir tematik banyak bermunculan seiring dengan animo mahasiswa tafsir terhadap kajian tematik. Dalam perkembangan selanjutnya, metode tematik ini disempurnakan oleh al-Farmawi dan kawan-kawannya.
Adapun kitab-kitab tafsir yang berhubungan dengan metode tematik ini, di antaranya kitab:
-          Min Huda al-Qur’an karya Muhammad Syaltut
-          Al-Insan fi Al-Qur’an,dan Al-Marah fi Al-Qur’an (keduanya karangan Mahmud al-‘Aqqad)
-          Al-Riba fi Al-Qur’an karangan Al-Maudhudi,[14]
-          Muqawamat al-Insan fi al-Qur’an karya Ahmad Ibrahim al-Mahna
-          Tafsir Surah al-Fatihah, karya sayyid al-Kumi
-          Tafsir surah Yasin karya Hasan al-‘Aridl, dan lain-lain.[15]
3.    Pembagian tafsir maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i mempunyai dua bentuk kajian, yang sama-sama bertujuan menggali hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, mengetahui korelasi di antara ayat-ayat dan umtuk membantah bahwa di alam dalam al-Quran itu sering terjadi pengulangan, juga menepikan tuduhan yang dilontarkan sebagian orientalis dan pemikiran barat. Kajian ini juga bertaujuan memperlihatkan betapa besarnya perhatian al-Quran terhadap kemaslahatan umat manusia. Kedua bentuk kajian yang dimaksud adalah:
1)      Penafsiran menyangkut satu surat dalam al-qur’an secara menyeluruh dan utuh, dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan yang khusus, menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.[16]. Contoh:
ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# ¼çms9 $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# ã&s!ur ßôJptø:$# Îû ÍotÅzFy$# 4 uqèdur ÞOŠÅ3ptø:$# 玍Î7sƒø:$# ÇÊÈ   ãNn=÷ètƒ $tB ßkÎ=tƒ Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøƒs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\tƒ šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# $tBur ßlã÷ètƒ $pkŽÏù 4 uqèdur ÞOŠÏm§9$# âqàÿtóø9$#
“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia-lah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun. (Q.S Saba:1-2)
Di Al-Qur’an surat saba’: 1-2 ini diawali pujian bagi Allah dengan menyebutkan kekuasaan-Nya. Setelah itu, mengemukakan pengetahuan-Nya yang universal, kekuasaan-Nya yang menyeluruh pada kehendak-Nya yang bijak.
2)      Penafsiran yang bermula dari yang menghimpun ayat-ayat al-qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-qur’an dan yang yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-qur’an secara utuh tentang masalah yang di bahas.[17] Bentuk inilah (bentuk kedua dari tafsir maudhu’i) yang dimaksudkan dengan istilah tafsir maudhu’i di dalam ilmu tafsir.[18] Contohnya: Allah SWT, berfirman:
#¤)=tGsù ãPyŠ#uä `ÏB ¾ÏmÎn§ ;M»yJÎ=x. z>$tGsù Ïmøn=tã 4 ¼çm¯RÎ) uqèd Ü>#§q­G9$# ãLìÏm§9$# ÇÌÐÈ  
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dan tuhannya , maka Allah menerima tibatnya, sesungguhnya Allah maha penerima tobat lagi maha penyayang.”(Q.S Al-Baqarah: 37)
Untuk menjelaskan kata ‘kalimat’ pada firman Allah Ta’ala di atas ,nabi mengemukakan ayat.
Ÿw$s% $uZ­u !$oY÷Hs>sß $uZ|¡àÿRr& bÎ)ur óO©9 öÏÿøós? $uZs9 $oYôJymös?ur ¨ûsðqä3uZs9 z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»yø9$# ÇËÌÈ  
“Keduanya berkata,: ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang merugi.” (Q.S Al-A’raf: 23)
4.    Langkah-langkah Tafsir Maudhu’i
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i baru dimunculkan pada akhir tahun 1960 oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy,[19] dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Memilih atau menetapkan masalah al-Qur'an yang akan dikaji secara maudhu’i (tematik).
b)      Menghimpun seluruh ayat al-quran yang terdapat pada seluruh surat al-Qur'an yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat makkiyyat atau surat madaniyyat.
c)      Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu).
d)     Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily).
e)      Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh yang mencakup semua segi dari tema kajian.
f)       Mengemukakan hadits-hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat hadith-hadith itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang mempelajari tema itu. Dikemukakan pula riwayat-riwayat (athar) dari para sahabat dan tabi’in.
g)      Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan shair-shair mereka dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
h)      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Sedangkan  yang melakukan tafsir maudu’i dengan surat persurat menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a)      Mengambil satu surat dan menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan surat tersebut, sebab-sebab turunnya dan bagaimana surat itu diturunkan (permulaan, pertengahan ataupun akhir, madaniyat atau makkiyat, dan hadith-hadith yang menerangkan keistimewaanya).
b)      Menyampaikan pengertian dari tujuan mendasar dalam surat dan membahas mengenai terjadinya nama surat itu.
c)      Membagi surat (khusus untuk surat yang panjang) kepada bagian-bagian yang lebih kecil, menerangkan unsur-unsurnya (meliputi ‘am khas-nya, nasikh mansukh-nya, lafaz-nya dalam bahasa Arab dan lain-lain) dan tujuan masing-masing bagian serta menetapkan kesimpulan dari bagian tersebut.
d)     Menghubungkan keterangan atau kesimpulan dari masing-masing bagian kecil tersebut dan menerangkan pokok tujuannya.[20]
5.    Keistimewaan dan keterbatasan Tafsir maudhu’i
Sebagai suatu metode penafsiran al-qur’an maka metode maudhu’i ini memiliki beberapa keistimewaan yang juga tidak terlepas dari keterbatasan.
1)      Keistimewaan[21]
a.       Menjawab tantangan zaman
Artinya metode ini mampu mengatasi perkembangan zaman yang selalau berubah dan berkembang, sehingga setiap permasalahan yang ada di alam ini dapat dilihat melalui tafsir Al-Quran yang dapat ditangani melalui metode penafsiran tematik ini. Dengan arti kata titik tolak keberangkatan permasalahan ini berdasarkan kenyataan yang ada dalam masyarakat dan berarkhir pada Al-Quran untuk mencari jawaban.
b.      Praktis dan sistamatis,
Tafsir dengan metode tematik ini disusun secara praktis dan tematis dalam memecahkan suatu permasalahan, metode ini sangat cocok dengan kahidupan masyarakat modern saat ini dengan menjelaskan satu sub pembahasan secara lengkap dan sempurna, di samping itumetode ini dapat menghemat waktu mengefektifkannya dan mengefesienkannya.
c.       Dinamis,
Metode ini selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran si pembaca dan pendengar dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian Al-Quran selalu aktual dan tidak ketinggalan zaman.
d.      Membuat pemahaman menjadi utuh.
Dengan ditetapkannya judul-judul pembahasan yang akan dibahas, membuat pembahasan itu menjadi utuh dan sempurna. Maksudnya penampilan tema suatu permasalahan secara utuh tidak bercerai berai bias menjadi tolak ukur untuk mengetahui pandangan- pandangan Al-Quran terhdap suatu masalah
2)      Keterbatasan[22]
a.       Memenggal ayat Al-Quran, maksudnya adalah metode ini mengambil kasus di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung berbagai macam permasalahan seperti masalah puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Menurut sebagian ulama (kaum konterkstual) cara seperti ini dipandang kurang sopan terhadap ayat-ayat Al-Quran, namun jika tidak membawa kerusakan atau kesalahan di dalam penafsiran hal seperti ini tidak menjadi masalah.
b.      Membatasi pemahaman ayat, dengan adanya penetapan judul di dalam penafsiran, maka dengan sendirinya berarti membuat suatu permasalahan menjadi terbatas (sesuai dengan topik itu saja), padahal jika dilihat pada ketentuan Al-Quran, tidak mungkin ayat-ayat yang ada padanya mempunyai keterbatasan denga arti kata keterbatasan ini tidak mencakup keseluruhannya makna yang dimaksud.
6.      Perbedaan tafsir maudhu’i dengan Tafsir lainnya.
a.         Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode tahlili
Metode Tahlili
Metode Maudhu’i (Tematik)
Mufassir terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
-         
Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
Mufassir berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu ayat.
Sulit ditemukan tema-tema tertentu yang utuh.
Sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir yang ada.
Mufassir tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunya ayat, atau kronologi kejadian.
Mufassir tidak berbicara tema lain  selain tema yang sedang dikaji. Oleh  karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bercampur aduk dengan tema-tema lain.
Mufasir tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu ayat. Tetapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
Mudah untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.
Walaupun benihnya ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode penafsiran yang jelas dan utuh baru dikenal belakangan saja.
b.      Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode ijmali (global)
Metode Ijmali (Global)
Metode Maudhu’i (Tematik)
Mufassir terikat dengan susunan mushaf.
Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
Mufassir tidak terikat dengan susunan mushaf.
Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
c.       Perbedaan metode maudhu’i dengan metode muqaran
Metode Muqaran
Metode Maudhu’i
Mufassir menjelaskan al-Qur’an dengan apa saja yang ditulis oleh para mufassir.
Mufassir terikat dengan uraian para mufassir.
Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
Mufassir tidak terikat dengan uraian para mufassir.
7.      Kedudukan Tafsir Maudhu’i
Ali Hasan al-Aridl, mengatakan bahwa urgensi metode maudhu’i dalam era sekarang ini yaitu:[23]
1)      Metode maudhu’i berarti menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar pada bagian surat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang suatu tema. Tafsir dengan metode ini termasuk tafsir bi al-ma’tsur dan metode ini lebih dapat menghindarkan mufassir dari kesalahan.
2)      Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut seorang pengkaji dapat menemukan segi relevansi dan hubungan antara ayat-ayat itu.
3)      Dengan metode maudhu’i seorang pengkaji mampu memberikan suatu pemikiran dan jawaban yang utuh dan tuntas tentang suatu tema yang dibahas dengan cara mengetahui, menghubungkan dan menganalisis secara komprehensif terhadap semua ayat yang berbicara tentang tema tersebut.
4)      Dengan metode ini seorang pengkaji mampu menolak dan menghindarkan diri dari kesamaran-kesamaran dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam ayat.
5)      Metode maudhu’i sesuai dengan perkembangan zaman modern dimana terjadi diferensiasi pada tiap-tiap persoalan dan masing-masing masalah tersebut perlu penyelesaian secara tuntas dan utuh seperti sebuah sistematika buku yang membahas suatu tema tertentu.
6)      Dengan metode maudhu’i orang dapat mengetahui dengan sempurna muatan materi dan segala segi dari suatu tema.
7)      Metode maudhu’i memungkinkan bagi seorang pengkaji untuk sampai pada sasaran dari suatu tema dengan cara yang mudah tanpa harus bersusah payah dan menemui kesulitan.
8)      Metode maudhu’i mampu menghantarkan kepada suatu maksud dan hakikat suatu masalah dengan cara yang paling mudah, terlebih lagi pada saat ini telah banyak bertaburan “kotoran” terhadap hakikat agama-agama sehingga tersebar doktrin-doktrin dan isme-isme kemanusiaan yang lain sehingga sulit untuk dibedakan.
Dari berbagai uraian tentang kelebihan dan kelemahan dari masing-masing metode yang dikemukakan, menurut Hujair A.H Sanaky yang melihat kebutuhan umat pada zaman modern, metode Maudhu’i mempunyai peran yang sangat besar dalam penyelesaian suatu tema dengan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, walaupun setiap metode memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang tentu tergantung pada kepentingan dan kebutuhan mufassir serta situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian metode maudhu’i dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh ummat dewasa ini, karena metode maudhu’i mampu menghantarkan umat (pembaca Tafsir) ke suatu maksud dan hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah, sebab tanpa harus bersusah payah dan memenuhi kesulitan dalam memahami tafsir. Selain itu sisi lain yang dilihat adalah dengan metode maudhu’i, mufassir berusaha berdialog aktif dengan al-Qur’an untuk menjawab tema yang dikehendaki secara utuh, sementara kalau kita perhatikan penafsiran al-Qur’an dengan metode tahlili, mufassir justru bersikap pasif sebab hanya mengikuti urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.
C.      Kesimpulan
Tafsir Maudhu’i (tematik) ialah cara mengkaji dan mempelajari ayat al-Qur'an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai maksud sama. Sejarah metode maudhu’i sudah ada sejak zaman Rasululllah SAW, akan tetapi penafsiran dengan menggunakan metode ini sebenarnya juga mulai dirintis oleh ulama-ulama tafsir klasik, seperti Fakhruddin al-Razi, yang kemudian Penafsiran tematik secara spesifik dan lebih sistematis baru dilakukan oleh Ahmad al-Sayyid al-Kumi, yang diikuti oleh kolega-kolega dan para mahasiswanya. Yang selanjutnya disempurnakan oleh al-Farmawi dan kawan-kawannya dan berkembang sampai sekarang.
Adapun langkah dan macam metode maudhu’i  adalah seperti yang telah kami utarakan di atas. Kelebihan metode ini adalah: mampu menjawab tantangan zaman, praktis dan sitematis, bersifat dinamis, dan memberikan pemahaman secara utuh. Adapun kelemahannya adalah: memenggal ayat al-Qur’an dan membatasi pemahaman suatu ayat.
Metode maudhu’i merupakan metode yang terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Hal ini dikarenakan kandungan yang global pada suatu tempat akan diperinci pada tempat lain; kandungan yang ringkas pada suatu tempat akan diuraikan pada tempat lain. mengenai perbedaan metode ini dengan metode-metode penafsiran yang lainnya telah kami uraikan secara gambang dalam pembahasan di atas, begitu juga dengan contoh penafsiran dengan menggunakan metode ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl, Ali Hasan. Sejarah Dan Metodologi Tafsir, edisi terjemah, Ahmad Akrom, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
Al-Farmawi, Abd al-Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Kairo:Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, 1977
Al-Farmawi, Abdul Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (penerjemah) Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’i, Bandung:Pustaka Setia, 2002
Al-Qathan, Manna Khalil. Mabahis Fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Mansyurat al-Ashar al-Hadis, tt
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2000
Djalal, Abdul. Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, Jakarta: Kalam Mulia, 1990
Ibn Manzhur, Jamaluddin. Lisan Arab, Juz X, Beirut: Dar al-Fikr, 1992
Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif 2002
Muslim, Mustofa. Mabahith fi at-Tafsir al-Madu’I, Damaskus: Dar al-Qalam, 1989
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,  2007
Sadrat , Muhammad baqir, “Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir al-Qur’an”, dalam Ulumul Qur’an, Vol I, No. 4, Bandung: Pena Madani, 1990
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
________Mukjizat Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1998
Usman, Ilmu tafsir, Yogyakarta: Teras, 2009



[1]Jamaluddin ibn Manzhur, Lisan Arab, Juz X, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 26
[2]Manna Khalil al-Qathan, Mabahis Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Mansyurat al-Ashar al-Hadis, tt), h. 323
[3] Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif 2002), h. 1565
[4]Usman, Ilmu tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 311
[5]Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), h, 75
[6]Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h. 83-84
[7]Al-Farmawi, Abd al-Hayy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (Kairo:Matba’ah al-Hadarah al`Arabiyah, 1977), h. 62
[8]Sadrat , Muhammad baqir, “Pendekatan Tematik Terhadap Tafsir al-Qur’an”, dalam Ulumul Qur’an, Vol I, No. 4 (Bandung: Pena Madani, 1990), h. 34
[9]Al-Farmawi, Abd al-Hayy, Al-Bidayah.fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i, h. 62
[10]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 74
[11]QS.Luqman3
 “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”
[12]Abdul Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (penerjemah) Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’i, (Bandung:Pustaka Setia, 2002), h. 45
[13]Usman, Ilmu tafsir, h. 312
[14]Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2000), h. 151
[15]Usman, Ilmu Tafsir, h. 314
[16]Al-Farmawi, Abd al-Hayy, Al-Bidayah.fi al-Tafsir Al-Maudhu’i, h. 62
[17]Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 74
[18]Al-Farmawi, Abd al-Hayy, al-Bidayah.fi al-Tafsir al-Maudhu’i, h. 62
[19]Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah Dan Metodologi Tafsir, edisi terjemah, Ahmad Akrom (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) h. 87
[20]Mustofa Muslim, Mabahith fi at-Tafsir al-Madu’i, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), h. 40
[21]Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an,  ( Bandung : Mizan, 1998 ), h. 111-212.
[22]Ibid
[23]Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah Dan Metodologi Tafsir, edisi terjemah, Ahmad Akrom, h. 87
Tafsir Maudhu'i Tafsir Maudhu'i Reviewed by Jp Tbn on Mei 06, 2014 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.