Bagaimana Hukum Pasang Gigi?
Pertanyaan,
Bagaimana hukum pasang gigi?
Penanya:
Sujoko, Sekretaris PCM Ampel,
Boyolali, Jawa Tengah
Jawaban,
Oleh karena masalah ini menyangkut masalah muamalah dan tidak ada larangan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka kembali kepada prinsipnya yang umum, yaitu: الأَصْلُ فِى اْلمُعَامَلَةِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى خِلاَفِهِ. Artinya: Prinsip dalam muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjuk kepada kebalikannya, artinya tidak boleh. Memasang gigi (palsu) itu merupakan suatu hajat/kebutuhan bagi orang yang tidak ada lagi giginya untuk bisa mengunyah makanan sebelum ditelan atau untuk membantu pencernaan makanan. Di samping itu, orang yang tidak ada gigi tidak bisa membaca al-Qur’an secara baik, misalnya membaca perkataan/potongan ayat وَلاَ الضَّآلِّيْنَ dengan benar.
Di dalam buku يسألونك من الدين والحياة juz 2 halaman 239, Ahmad asy-Syarbasi menukil pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad asy-Syaibani dan Abu Yusuf, mereka membolehkan ,enguatkan gigi dengan perak dikala diperlukan. Hal itu mereka kiaskan dari menguatkan hidung dengan perak. Di dalam buku-buku sejarah ada riwayat bahwa seorang sahabat bernama ‘Arfajah dalam suatu peristiwa tulang hidungnya patah, Nabi saw memperbolehkan menggantikan tulang hidung yang patah itu dengan emas, karena hal itu suatu dlarurah, lalu oleh ulama-ulama Hanafi dikiaskan hal itu kepada menguatkan gigi dengan perak juga boleh.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah
Fatwa Tarjih https://fatwatarjih.or.id/bagaimana-hukum-pasang-gigi/
Tidak ada komentar: