Ushul Fiqh: Mutlaq dan Muqayyad



MUTHLAQ dan MUQAYAD
Oleh: JANNUS TAMBUNAN S.H.I

A. Pengertian
1. Muthlaq
Kata muthlaq secara bahasa berarti tidak terikat dengan ikatan atau syarat tertentu, secara istilah lafal muthlaq didefenisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudu’nya ( sasaran penggunaan lafal ) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatumenurut apa adanya.
Sedangkan Abdul karim Zaidan mendefenisikan lafal muthlaq sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Dengan kata lafal muthlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu.[1]
Dalam hubungan ini mutahil Said al-khin menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan muthlaq adalah suatu lafal yang menunjukkan atas suatu objek yang tercakup dalam jenisnya, tanpa dibatasi oleh suatu batasan dari cakupannya itu. Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pada hakekatnya apa yang disebut dengan mutlaq itu adalah suatu lafal nash yang tertentu yang tidak ada atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya. Misalnya didalam Al-Quran disebutkan :
Artinya : maka (wajib) atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Dalam ayat diatas terdapat lafal yang berartikan budak yang tidak ada batasannya berupa sifat atau keadaan lainnya yang membatasi cakupannya. Sehingga lafal budak ini digolongkan kepada lafal muthlaq, karena mencakup seluruh budak.[2]
2. Muqayad
Menurut syekh al-Khudri Beik mengatakan bahwa muqayad adalah :
“muqayad ialah lafal yang menunjukkan kepada suatu objek (afrad) atau bebrapa obyek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan muqayad itu adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih spesifik dan pasti.
Sebagai contoh :
Artinya : “maka hendaklah (ia) memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyad yang diserahkan kepada keluarganya”
Lafal budak yang beriman merupakan muqayad, karena telah dibatasi oleh suatu sifat yang cakupan maknanya menjadi lebih spesifik dan terbatas. Jika disebut budak yang beriman berarti budak yang tidak beriman tidak tercakup didalamnya.[3]
B. Kehujjahan
Lafal mutlaq dan muqayad masing-masing menunjukkan kepada makna yang qath’i dalalahnya, karena itu bila lafadh itu muthlaq maka harus diamalkan sesuai dengan muthlaqnya, bila lafal itu muqayad maka harus diamalkan sesuai dengan muqayadnya, yang demikian itu berlaku selama belum ada dalil yang memalingkan artinya dari muthlaq ke muqayad. Adapun contoh-contohnya antara lain :
1. lafal muthlaq yang harus diamalkan sesuai dengan muthlaqnya, karena tak ada dalil lain yang memalingkan aslinya kemuqayad seperti yang terdapat dalam firman Allah mengenai wanita-wanita yang haram di nikahi dalam surat An-Nisa ayat 23 :
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ ….حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
Lafal أُمَّهَاتُ adalah muthlaq yang memberi pengertian haram mengawini ibu si istri (mertua) baik ia telah mencampuri istrinya ataupun belum.
2. lafal muthlaq yang ada dalil lain yang menyebabkan ia menjadi muqayad seperti dalam firman Allah mengenai kewarisan pada surat An-Nisa ayat 11 :
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Lafal وَصِيَّة disini adalah muthlaq tampa ada batasan apakah wasiat itu seperdua, sepertiga atau seluruh harta peninggalan. Akan tetapi di tempat lain ada hadits Rasulullah saw. yang mengabarkan bahwa saat Ibnu Abi Waqqas bertanya kepada Rasululah saw. dalam suatu dialog ketika beliau mengunjunginya waktu ia sakit, berapa seharusnya ia berwasiat terhadap harta bendanya. Rasulullah saw. menjawab :
artinya : “sepertiga dan sepertiga itu banyak
Hadits ini membatasi wasiat itu hanya sampai sepertiga saja. Tidak boleh lebih. Dengan demikian wasiat dalam ayat di atas menjadi muqayad dengan adanya hadits tersebut.
3. lafal muqayad yang tetap atas maqayadnya karena tidak ada dalil lain yang menghapuskan batasannya. Contoh firman Allah tentang kifarat zihar dalam surat Al-Mujadilah ayat 3-4
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّاٌ(3)فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Pelaksanaan kifarat zihar dengan memerdekakan budak dan puasa yang diberi batasan berturut selama dua bulan dan harus dilakukan sebelum kedua suami istri bercampur adalah muqayad dengan ketentuan-ketentuan tersaebut, tidak boleh dilikukan sesudah bercampur dan juga tidak boleh tidak berturut-turut berpuasa selama 2 bulan.
4. lafal muqayad yang tidak menjadi muqayad lagi karena ada dalil lain yang menghapuskan batasannya itu. Contoh pada firman allah dalam surat an-nisa ayat 23 tentang wanita-wanita yang haram dikawini disitu disebutkan :
وَرَبَائِبُكُمُوَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
Lafal رَبَائِبُكُمُ (anak tirimu) adalah muthlaq yang diberi batasan dengan dua batasan. Yang pertama اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ (yang berada dalam pemeliharaanmu)
dan yang kedua, ibunya sudah dicampuri ( اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ)
Batasan yang kedua yaitu “ibunya yang dicampuri” tetap diamalkan selama ibunya belum dicampuri. Bila sudah dicampuri hukumnya haram.[4]
C. Permasalahan
Prinsip dasar yang harus diperhatikan lafal nash muthlaq dan muqayad ini adalah lafal muthlaq tetap pada kemuthlaqannya, selama tidak ada dalil yang memberikan qayid batasan dan begitu pula sebaliknya, muqayad tetap pada kemuqayadannya. Jika lafal muthlaq terdapat suatu dalil yang memberi qayid maka ia berubah tidak muthlaq lagi, ada dua segi yang harus diperhatikan dalam melihat kedudukan lafal muthlaq dan muiqayad.
1. Membawa muthlaq kepada muqayad, kemudian di tempat lain disebutkan dengan muqayad. Hal seperti ini ada 2 ketentuan yaitu :
a). jika ketentuan hukum sama dan sebab penetapannya juga sama. Contoh dalam Al-Quran dijelaskan sebagai berikut :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
artinya: ”diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging Babi (QS, Al-Maidah : 3)
Di dalam ayat ini, lafal الدَّمُ (darah) disebutkan secara muthlaq tanpa dibatasi oleh sifat-sifat bagi darah tersebut. Kemudian dalam nash lain disebut bahwa darah yang mengalir. Hal ini dijelaskan dalam nash lain sebagai berikut :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةًإِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
Artinya : “kata kanlah! Tidak aku dapatkan dalam wahyu yang diwahyukan kepada sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali darah yang mengalir atau daging Babi (QS. Al-‘Am : 145)
dalam ayat ini, disebutkan darah yang mengalir (دَمًا مَسْفُوحًا) dengan demikian lafal (دَمًا) menjadi muqayad, karena telah diberi batasan dengan kata (مَسْفُوحًا)
b). ketentuan hukum berlaku sama, tetapi sebab yang melatarbelakangi penetapannya berbeda. Contoh tentang kafarat zihar dan kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah), dengan memerdekakan seorang budak. Kafarat zihar disebutkan dengan lafal muthlaq, seperti dalam ayat :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
“dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka ia (mereka diwajibkan) memerdekakan budak sebelum keduanya itu bercampur :
Kemudian tentang kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah) disebutkan dengan lafal muqayad seperti dalam ayat :
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang mukmin” (QS. An-Nisa : 92).
Dari kedua ayat diatas dapat dipahami bahwa ketentuan hukum berlaku sama, yaitu kafarat memerdekakan budak, tetapi pada ayat pertama disebutkan secara muthlaq dan pada ayat kedua secara muqayad yakni budak yang mukmin
2. muthlaq tidak dibawa kemuqayad. Dalam hal seperti ini ada dua hal yang harus diperhatikan :
a). jika ketentuan hukum muthlaq dan muqayad berbeda serta latar belakang kasusnya (sebab) juga berbeda, maka muthlaq tidak dibawa kepada muqayad. Ketentuan hukum muthlaq diamalkan sesuai dengan muthlaqnya, begitupun sebaliknya.
Contoh tentang lafal (tangan) yang berkaitan dengan potong tangan karena mencari dan kewajiban membasuh tangan ketika berwhudu’. Kedua kasus ini berbeda ketentuan hukumnya dan berbeda pula latar belakangnya. Ayat berikut ini dapat dipahami yaitu :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
“dan pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong tangan mereka masing-masing sebagai pembalasan (hukuman) bagi apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-Maidah : 38).
Lafal tangan pada ayat ini adalah muthlaq dan tidak dapat diberi qayid (batasan) hingga siku atau pergelangan tangan. Sementara itu dalam ayat berikut ini di jelaskan lafal tangan diberi qayid yang kedudukannya muqayad.
“hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu hingga dua mata siku.”
Dari contoh kasus dalam dua ayat diatas, maka muthlaq tidak dibawa ke muqayad, masing-masing diamalkan sesuai dengan ketentuan hukumnya. Karena baik ketentuan hukumnya maupun latarbelakang kasusnya berbeda satu sama lainya.
b). ketentuan hukum berbeda tetapi latar belakang kasusnya sama. Dalam hal ini muthlaq dan muqayad diamalkan sesuai dengan ketentuan hukumnya masing-masing. Misalnya kedua tangan hingga siku adalah muqayad. Sementara dalam soal tayamum disuruh mengusap kedua tangan, tetapi disebut dalam bentuk muthlaq seperti :
artinya : “maka bertayamumlah kamu denagan tanah yang bersih sapulah (usaplah) wajahmu tanganmu dengan tanah tersebut”
Kedua kasus ini hukumnya tidak sama, bahwa dalam soal wudhu’ diperintahkan kedua tangan. Akan tetapi sebab dan latarbelakang kasusnya sama yaitu karena hendak mendidrikan shalat.[5]

DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir, ushul fiqh, penerbit zikrul hakim, Jakarta : 2004.
Romli, muqaranah mazahib fil ushul, gaya media pratama, Jakarta : 1999
Daly deunoh, syihab Quraisy, ushul fiqh II, depertemen agama, Jakarta : 1986.

[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Penerbit Zikral Hakim, Jakarta : 2004) h. 147.
[2] Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushl (Gaya Media Pratama, Jakarta : 1999) h. 215-216
[3] Ibid., h. 216-217
[4] Peunoh Daly, Qurasyhab, Ushul Fiqh II (depertemen agama, Jakarta : 1986) h. 52-54
[5] Romli. Op. Cit. h. 228-220

Ushul Fiqh: Mutlaq dan Muqayyad Ushul Fiqh: Mutlaq dan Muqayyad Reviewed by Jp Tbn on Mei 05, 2014 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.