MUTLAQ DAN MUQAYYAD
Oleh: JANNUS TAMBUNAN S.H.I
A.
Pengertian Mutlaq
Dalam memberikan definisi kepada Mutlaq terdapat rumusan
yang berbeda, namun saling berdekatan.:
- Muhamad al- Khodhuri Beik memberikan definisi :
المطلق مادل على فرد او افراد شائعة
بدون قيد مستقل لفظا
Artinya : Mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk
terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah
secara lafdzi.
- Al- Amidi memberi definisi :
هو اللفظ الدال على مدلول شائع فى
جنسه
Artinya
: Lafadz yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk ) yang
mencakup dalam jenisnya.
- Ibn Subki merumuskan definisi:
المطلق الدال على الماهية بلا قيد
Artinya:
Mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakekat Sesutu tanpa ada ikatan
apa – apa
- Abu Zahrah mengajukan definisi :
اللفظ المطلق هو الذى يدل على موضوعه
من غير نظر الى الواحدة او الجمع او الوصف بل يدل على الماهية من حيث هي
Artinya
: Lafadz mutlaq adalah lapadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya
(sasaran penggunaan lafadz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau nsipatnya,
tetepi memberi petunjuk kepada hakekat sesuatu menurut apa adanya.
- Khairul Uman memberikan definisi:
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukan arti satu atau arti
sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang lain
Dengan membandingakan definisi – definisi tersebut jelaslah
bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup
seluruh afrad di dalamnya. Disinilah di antara letak perbedaan lafadz mutlaq
dengan lafadz ‘am, meskipun terdapat istilah “meliputi afrodnya “.
Dari nsegi cakupannya, juga dapat dikatakan bahwa mutlaq itu
sama dengan nakiroh yang disertai oleh tanda – tanda keumuman suatu lafadz,
termasuk jama’nkiroh yang belum diberi qayid (ikatan).
Seperi
contoh : “Aiidikum” dalam ayat :
öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur
Artinya
: Apbila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka
usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu. (QS. Anisa . 43)
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah di
batasi dengan sifat syarat dan sebagainya yang jelas dalam tayamum itu harus
mengusap tangan dengan debu.
Karena perkatan “aiidiikum “(tanganmu) ini tidak dibatasi
sampai di mana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana
sajaasalkan bagian tangan, karena itu disebut mtlaq.
B.
Pengertin Muqayyad
Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan arti sebenarnya,
dengan dibatasi oleh suatu hal dari batasan – batasan tertentu. Batasan –
batasan yang tertentu itu disebut dengan al- qaid.
Seperti
contoh:
وايديكم الى المرافق
Artinya : basulah tanganmu sampai siku – siku.
Contoh ini menjelaskan tentang wudhu, yaitu harus
membasuh tangan sampai siku – siku. Di sini dijelaskan lafadz “aiidiikum” ini
disebut muqayyad (dibatasi), sedang lapadz “ila al- marofiq” disebut al- qaid.
C.
Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad
Apabila lafadz itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara
mutlaq (tidak dibatasi), dan apabila lafadz ityu muqayyad, maka mengandung arti
ketentuan secara muqayyad (dibatasi)
Maksudnya lafadz yang mutlaq harus diartikan secara mutlaq
dan lafadz yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh
dicampur adukan satu dengan yang lainnya. Maka sendirinya hukumnyapun harus
berbeda.
D.
Hubungan Antara Mutlaq dan Muqayyad
Apabila ada satu lafadz disatu tempat berbentuk mutlaq,
sedangkan pada tempat yang lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa
kemungkinan dari ketentuannya.
1.
Persaman sebab dan hukumnya
Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya,
maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya
lafadz mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk
kepada muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafadz tadi
sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja cara mengartikannya. Oleh
karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.
Contoh
lafadz:
فصيام ثلاثة أيام
Atinya:
Berpuasa tiga hari, merupakan bentuk contoh mutlaq, menurut bacaan mutawatir.
Tetapi menurut bacaan syadzah lafadz tersebut bentuknya muqayyad (bacan Ubbaid
bin Ka’abdan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi :
فصيام ثلاثة أيام متتابعات
Artinya : berpusalah tiga hari berturut – turut .
Jadi lafadz di atas dibatasi dengan kata – kata berturut
– turut (mutatabiat).
Karena kedua bacaan tadi bersamaan
sebab dan hokumnya, maka qirat mutawatir di atas diikutkan (disesuaikan) dengan
qiraat syadzah. Jadi cara mengartikannya disamakan dengan qiraat syadzah.
Hendaklah berpuasa tiga hari bertrut –turut. Jadi, karena keduanya sama
hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat sumpah. Lebih
jelasnya, walaupun di dalam mushaf tidak disebutkan lafadz “mutatebiatin” tetapi
cara mengartikannya haruslah berpuasa tiga hari berturut –turut dengan memakai
qaid mutatabiat.
2.
Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
Apabila dua lafadz itu berbeda dalam sebab, tetapi sama
dalam hokum, maka bagian ini diperselisikan antara ulama ushul. Menurut
sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sadang Ulama
yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contohnya pada perkataan “Roqobatin”
yang artinya Budak. Lafadz ini bentuknya mutlaq dalam ayat yang artinya : “dan
orang – orang yang bersumpah zhihar kemudian menarik kembali apa yang
dikatakannya, maka wajib memerdekakan budak, sebelum keduanya berkumpul” (QS
Al- Mujahadah 39)
Padaayat lain berupa “rokobatin
mukminatin” (budak yang muknin). Lafadz ini berbentuk muqayyad dalam ayat yang
artinya “Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan bersakah maka wajib
memerdekakan budak yang mukmin. “ QS An- Nisa 92).
Pasa ayat pertama seorang harus
memerdekakan budak, karena bersupah zhihar, sedang pada ayat kedua karena
membunuh tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam sebabnya.
Neskipun berlainan sebabnya, tetapi
hukumnya sama yaitu sama – sama memerdekakan budak. Namun, jika tidak
diikutkan, berarti yang mutlaq tetap paa kemutlaqnnya, maka dalam supah zhihar,
budak yang dimerdekakan tidak harus mukmin. Sedangkan dalam soal membunuh
dengan tidak sengaja maka budak yang dimerdekakan harus mikmin.
3.
Perbedaan hukum dan sebab
Apabila
terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan
kepada yang muqayyad. Misalnya dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam
hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya
berlainan hokum dan sebabnya, yang satu harus adil (muqayyad) dan yang lainnya,
diharuskan memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang satu soal
pembunuhan, maka sudah jelas persoalannya. Oleh karena itu, tidak boleh
diikutkan satu kepada yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang
adil sebagai mana dalam hal saksi.
4.
Perbedaan dalam hukummya saja
Apabila
terjadi perbedaan dalam hukumnya saja maka tidak ada perselisihan antara ulama
ushuk bahwa yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
Contohnya
lafadz :
اشتر رقبة واعتق رقبة مؤمنة
Artinya : belilah budak dan merdekakanlah budak mukmin.
Karena keduanya ini berbeda dalam
hukumnya, yang yang satu harus membeli budak dan yang lainnya harus
memerdekakan budak. Oleh karena itu, yang satu tidak boleh diikutkan pasa
yang lain.
5.
Adakalanya
salah satu di antara keduanya ( mutlaq dan muqayyad), dalam bentuk itsbat
(membenarkan) dan naïf (membantah). Contohnya, seorang berkata, “Merdekakanlah hamba sahaya.
Lalu berkata lagi, “jangan memerdekakan hanba sahaya yang kafir.” Atau ia
berkata ,“Memedai memerdekakan hamba sahaya muslim.” Dan berkata lagi, “Tidak
memadai memerdekakan hamba sahaya”. Lafadz mutlaq dalam contoh tersebut diberi
qayid dengan kebalikan atau lawan dari qayid pada lafadz yang miqayyad. Dalam
contoh pertama kata “hamba sahaya” diberi qayid dengan “muslim” dan contoh
kedua “hamba sahaya” diberi qayid dengan kata “muslim”
6.
Bila dalam keduanya (mutlaq dan muqayyad) dalm benuk naïf atau dalam bentuk
mrlarang , atau yang satu dalam bentuk nafy dan yang satu lagi dalam bentuk
melarang, maka lafadz mutlaq diberi qaid dengan sifat yang terdapat dalam
lafadz muqayyad.
Contoh
bentuk pertama : “Tidak cukup menyembeleh hewan” dan “tidak cukup menyembeleh
hewan saki”
Contoh
bentuk kedua : “Jangan menyembeleh hewan “ Jangan menyembeleh hewan sakit”
“jangan menyembeleh hewan”.
Bentuk
dan contoh yang disebutka sebelumnya adalah lafadz muqayyad berada dalam satu
tempat, sehingga lafadz mutlaq hanya mungkin ditanggungkan kepada yang muqayyad
itu saja.
7.
Bentuk lain adalah lafadz muqayyad berada dalam dua tempat yang berbeda.
Mengenai
hal ini ada dua pendapat yang berbeda:
a.
Menurut ulama Syafi’iyah lafadz mutlaq harus ditanggungkan kepada salah satu di
antara ksdua muqayyad di tempat yang berbeda itu.
Contoh
:
فصيام ثلاثة أيام
Artinya : Maka harus berpuasa tiga hari ( QS Al- Maidah
89)
Kata “tiga hari” dalam ayat ini mutlaq tanpa keterangan,
artinya tiga hari tersebut boleh berturut – turut dan boleh pula berpisah.
Contoh dalam kasus kafarah zhihar :
فصيام شهرين متتبعين
Artinya : Maka harus puasa selama dua bulan berturut –
turut. (QS Al- Mujadalah 4)
Dalam ayat ini kewajiban berpuasa dinyatakan dalam bentuk
muqayyad yaitu “berturut – turut”.
Contoh dalam bentuk dam haji (berpuasa secara berpisah)
فصيام ثلاثة أيام في الحج وسبعة
اذارجعت
Artinya
: Maka hendaklah puasa tiga hari waktu melakukan haji dan tujuh hari setelah
kembali sari ibadah haji. (QS Al- baqarah 196)
Meskipun
lafadz muqayyadnya ada dalam dua tempat yang berbeda namun bila di bandingkan,
ternyata salah satu diantara keduanya lebih tepat dijadikan qayid bagi lafadz
mutlaq karena adanya titik kesamaan. Dalam hal ini kewajiban puasa lebih tepat
diberi qayid dengan kasus kafarah zhihar, yaitu berturut – turut, karena mutlaq
dan muqayyad sama – sama dalam kasus kafarah.
b.
Ulama Hanafiyah berbeda pendapat bahwa lafadz mutlaq tidak dapat ditanggungkan
kepada lafadz muqayyad dalam keadaan tersebut karena lafadz muqayyadnya berbeda
hukumnya. Oleh karea itu lafadz mutlaq berlaku secara kemutlaqannya sedang
lafadz miqayyad berlaku menurut qayidnya. Masing – masing berdiri sendiri.
Bila
muqayyad berbeda dalam dua tempat yang berbeda dan tidak ada yang lebih dekat
diantara keduanya untuk memberi qayid kepada lafadz mutlaq, maka lafadz mutlaq
tidak dapat ditangguhkan kepada muqayyad, karena meskipun ada lafadz
muqayyadnya, tetapi berada dalam bentuk yang berbeda. Dengan demikian lafadz
muqayyad b3erlaku dengan qayidnya dan lafadz mutlaq berlaku secara kemutlaqannya.
D.
Penggunaan lafadz mutlaq dan muqayyad
1.
Jika terdapat dua lafadz yang sesuai sebab dan hukumny, maka gabungkanlah
mutlaq kepada muqayyad. Jikalu terdapat sutu tuntutan yang mutlaq dalam suatu
lafadz dan muqayyad pada lafadz yang lain .
Seperti
hadis tentang kafarah puasa.
صم شهرين متتبعين متفق عليه
Artinya : Puasalah kamu dua bulan berturut – turut.
Digabungkan dengan hadis : صم شهرين
Artinya : berpuasalah dua bulan .
Keterangan : bahwa hadis pertama dintentukan waktunya
(muqayyad) sedangkan hadis kedua tidak ada ketentuannya (mutlaq), maka kedua
hais tersebut di kompromikan, karena bersesuaian menurut sebab dan hukumnya.
Karena
ada keterangan :
المطلق يحمل على المقيد اذا ااتفقا فى
السبب والحكم
Artinya
: mutlaq digabungkan kepada muqayyad bila bersesuaian menurut sebab dan
hukumnya .
2. Jika tidak bersesuaian menurut
sebab, maka mutlaq tidak digabungkan pada muqayyad
المطلق
لايحمل على المقيد اذالم يتفق في السبب
Artinya
: mutlaq tidak digabungkan dengan muqayyad apabila tidak bersesuaian pada
sebab.
Seperti contoh antara lafadz zhihar
dengan kafarat membunuh. Firman Allah yang artinya : “mereka yang menzhihar
istrinya, kemudian mereka hendak menarik (kembali) apa yang mereka ucapkan,
maka wajib atasnya memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami istri
itu bercampur.
Dengan firman Allah yang artinya: “barang siapa yang
membunuh orang mukmin bersalah, maka hendaklah memerdekakan seorang hamba
sahaya yang mukmin.
Kalau ayat ini berisikan hukum yang sama (sama – sama
membebaskan budak), sedangkan sebabnya berlainan, yang pertsama karena zhihar
dan yang kedua karena membunuh dengan tak sengaja, maka mutlaq tidak dapat
digabungkan kepada muqayyad.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Lafadz mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya
tetapi tidak mencakup seluruh aprod di dalamnya. Di sinilah diantara letak
perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘aam, meskipun terdapat istilah “meliputi
afrodnya”
Lafadz muqayyad adalahlafadz yang menunjukan arti sebenarnya
dengan dibatasi oleh suatu sifat dari batasan – batasan tertentu.
Sedangkan hubungan antara mtlaq dan muqayyad diantaranya
:
· Persamaan
sebab dan hukum
· Sebabnya
berbeda tetapi hukumnya sama
· Perbedaan
hukum dan sebab
· Perbedaan
hukumnya saja
Dan dalam masalah ini masih banyak para
ulama ushul fiqih berbeda pendapat .
DAFTAR
PUSTAKA
Uman,
khaerul dan Ahmad achyar Aminudin, Ushul fiqih II Bandung : Pustaka Setia. 1989
Ble,
Mahmud Al- Khudhori, Terjemahan ushul Fiqih, Pekalongan: Raja Murah. 1982
Syarifudin, Amir ,Haji Ushul Fiqih II cet 1, Jakarta : Logos
Wacana Ilmu. 1999
Ushul Fiqh: Mutlaq dan Muqayyad
Reviewed by Jp Tbn
on
Mei 05, 2014
Rating:
Tidak ada komentar: