Ramadhan
Dan Uswatun Hasanah
Kesempatan
baik bagi siapa saja untuk menunjukkan jati dirinya di tengah keluarga dan
masyarakat pada bulan Ramadhan ini dengan akhlak yang mulia melalui ibadah
puasa sehingga cermin kesabaran, kedisiplinan, ketaatan dan keikhlasan menjadi
teladan yang layak dicontoh teladani.Anak menjadikan orangtua, guru dan tokoh
masyarakat sebagai uswatun hasanah. Keteladanan itu akan selalu tumbuh pada
bulan ini, sebab banyak peluang untuk menumbuhkannya.
Manusia
di dunia ini membutuhkan contoh teladan dalam hidupnya sebagai figure yang akan
memotivasinya untuk berbuat dan bercita-cita, contoh teladan atau uswatun
hasanah itu bisa melalui ayah dan ibunya, bapak dan ibu gurunya atau tokoh yang
ada di masyarakat, bahkan tidak sedikit menjadikan contoh teladannya dari
pemain sepak bola, petinju, bintang sinetron atau penyanyi, padahal contoh
teladan itu haruslah orang-orang yang memang mengajak kepada kebaikan untuk
membangun kepribadiannya kelak.
Syaikh Musthafa Masyhur mengawali bukunya dengan “teori keteladanan.” Bahwa manusia
yang diberi nikmat indra dan akal oleh Allah SWT bisa mendapatkan petunjuk dan
keteladanan. Dan, umumnya setiap dakwah dan seruan akan lebih efektif ketika
ada keteladanan aplikatif. (qudwah amaliyah).
Teori
lain yang ditulis di awal adalah kebiasaan orang lemah meniru orang kuat. Teori
ini sejalan dengan teorinya Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah. Seperti anak kecil
yang meniru orang dewasa, demikianlah orang yang lemah pendirian akan meniru
orang-orang kuat; sama halnya negara-negara lemah dan terjajah meniru
negara-negara besar dan maju. Ketika yang dapat ditangkap oleh orang-orang
berjiwa lemah itu adalah keburukan saja, maka mereka akan mengikuti keburukan.
Namun saat mereka melihat keteladanan positif dari orang-orang kuat dan pejuang
dakwah, itu pun akan mempengaruhi kehidupannya. Dan di sinilah letak pentingnya
keteladanan.[Abu Nida,Resensi Buku Urgensi Al-Qudwah di
Jalan Dakwah karya Syaikh Musthafa
Masyhur, dakwatuna.com8/8/2011 |
09 Ramadhan 1432 H].
Orangtua
atau guru yang baik, mengarahkan anak-anaknya agar menjadikan figure yang
diteladani itu adalah Rasulullah, keteladanan ini Allah gambarkan dalam ayat Al
Qur’an“Sesungguhnya Telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”[Al
Ahzab 33;21]
Rasulullah adalah manusia paripurna yang diciptakan Allah
di dunia. Segala keistimewaan diberikan kepadanya. Kehidupannya dihiasi dengan
segala pernik keindahan. Akhlaknya menebar keharuman. Sirahnya bagai minyak
kasturi bagi kehidupan. Pesan-pesannnya menyentuh setiap insan. Lembut
perawakannya. Santun ucapan katanya. Padat ungkapan kalimatnya.
Allah
SWT berfirman:Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang
luhur. (QS al-Qalam [68]: 4)
Istrinya
tercinta, Aisyah pernah berkata:Akhlaknya adalah Al-Qur’an .... (HR Ahmad)
Demikian
juga Rasulullah adalah sosok yang penyantun dan penyayang. Cinta menebarkan
kemanfaatan dan menolak segala yang menimbulkan kemadharatan. Allah
mengabadikan sifat itu dalam firman-Nya: Sungguh, telah datang kepadamu
seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu
alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang
yang beriman. (QS at-Taubah [9]: 128)
Berikut
kami sajikan beberapa contoh kesempurnaan sifat-sifat beliau dalam beberapa
kisah berikut yang diceritakan kembali oleh para perawi hadits. Bukan hanya
pengakuan dari sahabatnya, melainkan juga para musuhnya. Itulah kelebihan yang
dimiliki Rasulullah sehingga siapa pun ikut mengaguminya. Meskipun sebagai
manusia pilihan yang mendapat kepercayaan untuk menyampaikan risalah,
Rasulullah selalu bersikap tenang dan penyayang kepada siapa pun. Bahkan, pada
binatang pun beliau sangat menyayanginya, sebagaimana kisah di bawah ini.
Uqa'il bin Abi Thalib pergi bersama-sama dengan Nabi
Muhammad saw. Pada waktu itu Uqa'il telah melihat peristiwa ajaib yang menjadikan
hatinya bertambah kuat di dalam Islam dengan sebab tiga perkara tersebut. Peristiwa
pertama adalah ketika Rasulullah saw. akan mendatangi hajat untuk membuang
air besar dan di hadapannya terdapat beberapa batang pohon. Kemudian Rasulullah
saw. berkata kepada Uqa'il, "Hai Uqa'il teruslah engkau berjalan sampai ke
pohon itu dan katakanlah kepadanya bahwa Rasulullah berkata agar kamu semua
datang kepadanya untuk menjadi penutup baginya karena sesungguhnya Rasulullah
akan mengambil air wudhu dan buang air besar."
Uqa'il pun keluar dan pergi menemui pohon-pohon itu. Akan tetapi, sebelum dia
menyelesaikan tugas itu, ternyata pohon-pohon sudah tumbang dari akarnya dan
sudah mengelilingi Rasulullah saw. Peristiwa kedua adalah ketika Uqa'il merasa
sangat haus dan sudah mencari air ke mana-mana, tetapi tidak ditemui. Kemudian
Rasulullah saw. berkata kepada Uqa'il bin Abi Thalib, "Hai Uqa'il, dakilah
gunung itu dan sampaikanlah salamku kepadanya, serta katakan, "Jika pada
dirimu ada air, berilah aku minum!"
Uqa'il pun segera pergi mendaki gunung itu dan berkata pada gunung itu,
sebagaimana pesan Rasulullah saw. Akan tetapi, sebelum ia selesai berkata,
gunung itu berkata dengan fasihnya, "Katakanlah kepada Rasulullah bahwa
aku sejak Allah S.W.T menurunkan ayat yang bermaksud, ’Wahai orang-orang
yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu ..." (QS At-Tahrīm [66]: 6).
"Aku menangis karena takut kalau aku menjadi batu itu sehingga tidak ada
lagi air padaku."
Peristiwa
ketiga adalah ketika Uqa'il sedang berjalan dengan Rasulullah saw.,
tiba-tiba ada seekor unta yang meloncat dan lari ke hadapan Rasulullah. Kemudian unta
itu berkata, ”Ya Rasulullah, aku minta perlindungan darimu.” Unta masih belum
selesai mengadukan halnya, tiba-tiba datang dari belakang seorang Arab kampung
dengan membawa pedang terhunus. Melihat orang Arab kampung membawa pedang
terhunus, Nabi Muhammad saw. berkata, "Apa yang akan kamu lakukan dengan unta
itu?”
Orang kampung itu menjawab, "Wahai Rasulullah, aku
telah membelinya dengan harga yang mahal, tetapi dia tidak mau taat atau jinak
sehingga akan kupotong saja dan akan kumanfaatkan dagingnya (kuberikan kepada
orang-orang yang memerlukan).”
Rasulullah saw. bertanya pada unta, "Mengapa engkau
mendurhakai dia?"
Jawab unta itu, "Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak
mendurhakainya dari satu pekerjaan, tetapi aku mendurhakainya karena
perbuatannya yang buruk. Dia bersama kabilah-kabilahnya tidur dan meninggalkan
shalat Isya’. Seandainya ia mau berjanji kepadamu untuk mengerjakan shalat
Isya’, aku berjanji tidak akan mendurhakainya lagi karena aku takut kalau Allah
menurunkan siksa-Nya kepada mereka, padahal aku berada di antara mereka."
Akhirnya, Nabi
Muhammad saw. membuat perjanjian dengan orang Arab kampung itu bahwa dia tidak
akan meninggalkan shalat Isya'. Orang itu pun menyanggupinya. Kemudian
Rasulullah saw. menyerahkan unta itu kepadanya dan dia pun kembali kepada
keluarganya.[dari berbagai sumber].
Pepatah
mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Artinya anak akan
berperilaku sebagaimana teladan yang ditampilkan oleh kedua orangtuanya.
Sejak
lahir anak akan memperhatikan perilaku kedua orangtuanya. Oleh karena itu, cara
efektif yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah berusaha menjadi figur yang
baik.
Menampilkan
uswah (keteladanan) dan sebisa mungkin tidak menampilkan sikap diri yang
kurang baik atau negatif.
Selain
itu, pesan penting yang Rasulullah saw wasiatkan kepada umatnya ialah agar
berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan sunnah beliau.
Dalam
penuturan Dr. Ir. Muhammad al-Husaini Ismail, seorang intelektual Mesir yang
sempat mengalami keguncangan pemikiran dan kemudian memilih untuk istiqomah
dalam keimanan menyatakan bahwa, “Di hadapan al-Qur’an akal dan kemampuan
manusia tak lebih dari segerombolan para kurcaci.”
Artinya
seluruh persoalan yang dihadapi manusia, al-Qur’an memberikan solusi.
Selanjutnya bergantung pada manusia itu sendiri, mau mempelajarinya atau tidak.
Pernyataan
tersebut sudah cukup mewakili bahwa setiap keluarga muslim wajib mencintai
al-Qur’an. Mencintai dalam hal ini ialah senantiasa membudayakan iqra al-Qur’an
(membaca al-Qur’an, memahami, mengamalkan dan berusaha mengajarkan kepada yang
lain). Dengan demikian maka kita bisa menjadi seorang Muslim yang benar-benar
hidup dengan al-Qur’an sebagai pedoman.[Imam Nawawi.hidayatullah,com.Jadilah Figur Teladan Anak Kita ,Kamis,
18 Agustus 2011].
Karena pentingnya keteladanan atau
uswatun hasanah bagi anak maka orangtua harus memberi contoh dan menunjukkan sikap yang patut
diteladani oleh anak-anaknya, Khofifah Indar Parawansa dalam tulisannya
mencontohkan figure seorang ayah yang diperankan oleh Lukmanul Hakim,
sebagaimana yang dituangkannya dalam tulisan dibawah ini;
Nama
Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang
penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan
seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran
tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula,
Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.
Tentang
asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan
bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan,
ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat
dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim
di zaman Nabi Daud AS.
Ada
enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan
mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang
ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS
Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar
dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan
membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara
rendah (QS Luqman: 19).
Banyak
pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal
keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan
keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga
dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan
uswah (teladan) kepada anaknya.
Urgensi
keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan
contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang
mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala
orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh
buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya
hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa
orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).
Dalam
konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di
tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya
dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak
hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung
jawab. Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa
mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi
yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan
bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis
keteladanan.[Keteladanan dalam Mendidik Anak, republika.co.id. Kamis, 02 Juni 2011 02:00 WIB].
Contoh
yang baik atau uswatun hasanah dalam masyarakat harus diujudkan agar masyarakat
kita jadi masyarakat yang baik, figure yang diharapkan jadi teladan dalam
kehidupan yang baik itu adalah semua ummat islam, semua kita harus tampil di
manapun juga sebagai contoh mulia bagi orang-orang di sekeliling kita,
lebih-lebih lagi bila kita seorang da’i tentu keteladannya ditunggu oleh
masyarakat.
Para
dai adalah qudwah, terutama bagi orang-orang bertaqwa. Inilah doa dan
harapan Ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang) yang dijanjikan
surga di akhirat kelak.“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah
kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati
(Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al Furqan]
Ia
perbaiki dirinya untuk bisa menjadi teladan bagi isteri dan anak-anaknya. Ia
perbaiki keluarganya untuk dapat menjadi teladan bagi orang-orang bertaqwa di
sekelilingnya.
Bukan
sembarang keteladanan yang dicontohkan, tetapi teladan yang bisa diikuti
orang-orang bertaqwa yang mengharapkan janji Allah, meyakini akhirat, dan
banyak mengingat Allah.
Inilah
fokus keteladanan yang sangat diharapkan di jalan dakwah. Keteladan untuk
mengantarkan orang memperoleh janji Allah. Keteladanan untuk mendapatkan
akhirat yang baik. Keteladanan untuk senantiasa mengingat Allah.
Dari
itulah Allah tegaskan keteladanan Rasulullah saw dengan sebutan USWATUN
HASANAH, bukan sekedar uswah. Sebab jika keteladanan yang ditampilkan tidak
bernilai kebaikan atau bahkan membuat orang jauh dari kebaikan, justru akan
menjadi investasi dosa seperti dalam hadits Rasulullah saw.“Barang siapa yang
memulai kebaikan dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala
orang-orang yang mengamalkan di belakangnya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. Dan barang siapa yang memulai keburukan dalam Islam, maka ia
mendapatkan dosanya, dan dosa para pengamal sesudahnya tanpa mengurangi dosa
mereka sedikitpun.” Muslim.
Dari
itulah para dai harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi, untuk mencontohkan
apa yang menjadi kebaikan umat menggapai akhirat, dan menjauhkan diri dari
semua sikap dan tindakan yang membuat umat tidak berharap kepada Allah,
mengganggu iman mereka kepada negeri akhirat, dan mengurangi dzikir mereka
kepada Allah.
Inilah
kewajiban mendasar para dai, mencontohkan gaya hidup untuk menggapai
kebahagiaan akhirat, karena hal ini tidak bisa dicontohkan oleh siapapun selain
para dai. Wanahnu
du’atun qabla kulli sya’in (dan kita adalah para dai sebelum berpredikat
apapun). Berbeda dengan tujuan dunia,
siapapun bisa menjadi contoh tanpa harus menjadi dai.[Teladan di Jalan Dakwah,dakwatuna.com15/1/2010
| 28 Muharram 1431 H,Tim Kajian Manhaj Tarbiyah].
Salah
satu contoh teladan yang patut kita ikuti adalah yang dialami oleh Imam Malik,
figure yang punya ilmu tapi rendah hati dan hidup bersahaja sebagaimana
pengakuan dari pelayannya bernama Abdurrahman bin Qasim berikut ini;
Abdurrahman
bin Qasim seorang pelayan Imam Malik bin Anas, menuturkan kesaksiannya selama
menjadi pelayan beliau. Kata Abdurrahman, "Tidak kurang dua puluh tahun
aku menjadi pelayan Imam Malik. Selama 20 tahun tersebut, aku perhatikan beliau
menghabiskan 2 tahun untuk mempelajari ilmu dan 18 tahun untuk mempelajari
akhlak.
Imam
malik dan para ulama yang baik lainnya, selalu menjaga kualitas akhlaknya.
Akhlak kepada Allah, Rasul, dan sesamanya. Ketinggian derajat, pencapaian ilmu
yang mendalam, dan kebesaran wibawa, tidak membuat mereka merasa lebih mulia
dan lebih baik baik dari orang lain.[Ali Akbar, Letakkan Akhlak Di Atas Ilmu ,Sabtu, 11 Juni 2011].
Begitu
perbandingannya dalam menuntut, seharusnya lebih banyak kita menghabiskan waktu
kita untuk mempelajari akhlak yang kemudian dengan akhlak itu kita dapat
diteladani oleh orang lain. Siapapun berhak untuk dijadikan sebagai uswatun
hasanahselama orang tersebut dalam hidupnya juga meneladani Rasulullah, karena
keteladan yang sempurna itu adalah keteladanan nabi Muhammad Saw, mencari orang
lain sebagai teladan hidup yang tidak mengacu kepada nilai-nilai akhlak mulia
akan mengalami kekecewaan, Wallahu
a’lam.
Ramadhan Dan Uswatun Hasanah
Reviewed by Jp Tbn
on
Juni 11, 2015
Rating:
Tidak ada komentar: